Kamis, 21 Agustus 2008

Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi di Daerah

Oleh : Asropi
(diterbitkan di "Bunga Rampai Administrasi Publik", Lembaga Administrasi Negara, 2007)
Abstrak
Perbaikan iklim investasi di daerah merupakan keniscayaan bagi peningkatan kinerja investasi nasional. Salah satu aspek yang perlu segera dibenahi dalam upaya perbaikan iklim investasi di daerah tersebut, adalah kondisi pelayanan perizinan bidang investasi yang diselenggarakan oleh para aparatur pemerintah di daerah. Secara faktual, pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah daerah dalam bidang tersebut ”kurang menguntungkan” para calon investor yang berniat menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan terutama oleh lamanya waktu yang diperlukan dalam proses perizinan tersebut. Keadaan yang demikian ini tentu saja harus diperbaiki, khususnya melalui penerapan sistem pelayanan terpadu di daerah.

Pendahuluan
Sejak diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kompleksitas persoalan yang dihadapi para pelaku bisnis yang bermaksud menanamkan modalnya di Indonesia semakin meningkat. Berbagai hambatan investasi digelar didaerah, dan mewujud dalam berbagai bentuk: dari kebijakan pajak dan retribusi daerah sampai ke pungutan liar, dari ketidakpastian biaya dan waktu sampai ke uang pelicin. Sebagai akibatnya, dalam konteks investasi, kebijakan otonomi daerah diyakini banyak pihak justru telah menimbulkan efek yang counterproductive, dan pada gilirannya kemudian mengurangi daya tarik investasi Indonesia.
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian, tentu saja akan memperburuk kinerja penanaman modal nasional[1]. Tanpa perbaikan pada kondisi ini, maka perkembangan penanaman modal yang sejak tahun 1997 sampai dengan 2004 sudah “cukup memprihatinkan”[2], akan terus berlanjut dengan jumlah dan nilai penanaman modal yang semakin menurun. Terkait dengan strategi Presiden Yudhoyono untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penanaman modal, tampaknya strategi tersebut juga akan menemui banyak hambatan jika kondisi iklim penanaman modal di daerah tidak segera ditangani.
Banyak pilihan yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Salah satu kebijakan terkait dengan kepentingan tersebut, adalah penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang didasarkan pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Kebijakan ini sangat menarik untuk dicermati, karena jika ditilik pada substansinya, memiliki kemiripan dengan Keppres 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres ini pernah “dicurigai” pemerintah daerah sebagai upaya pemerintah pusat untuk menarik kembali kewenangan penanaman modal yang pernah didesentralisasikan. Di sisi lain, secara teoritik, PTSP dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dalam bidang investasi, melalui penyederhanaan perizinan dan percepatan waktu penyelesaian.
Menilik kondisi tersebut diatas, maka kebijakan PTSP ini memiliki potensi “ditolak” pemerintah daerah, sehingga kebijakan dimaksud tidak akan mampu menghasilkan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, desain kebijakan ini harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat matang, untuk memberikan jaminan bahwa iklim penanaman modal di daerah akan segera kondusif bagi peningkatan kinerja penanaman modal, jika pada saatnya kebijakan ini diimplementasikan. Uraian lebih lanjut tentang berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mendesain PTSP selanjutnya akan dibahas dalam tulisan berikut.

Pembahasan
1. Desentralisasi Pelayanan Penanaman Modal
Kewenangan daerah di bidang penanaman modal relatif lebih luas pada saat diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum masa UU No. 22 tahun 1999 tersebut, daerah terlibat di bidang penanaman modal hanya dalam pelayanan perizinan yang meliputi Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Undang-undang Gangguan (UUG/HO) yang diperlukan para investor sebagai syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Tetap. Setelah tahun 1999, kewenangan daerah meluas sehingga daerah dapat menerbitkan berbagai perizinan sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh pusat[3]. Dengan kewenangan tersebut, daerah selanjutnya dapat menangani dan menerbitkan surat persetujuan penanaman modal bagi para calon investor yang memproses perizinan penanaman modalnya langsung di daerah, Izin Pelaksanaannya, dan fasilitas penanaman modal.
Perluasan kewenangan daerah di bidang penanaman modal tersebut, segera direspon oleh pemerintah daerah melalui pembentukan kelembagaan dan perumusan berbagai kebijakan bidang penanaman modal di tingkat daerah. Hanya saja, respon tersebut oleh beberapa pihak kemudian dinilai justru kian memperburuk iklim penanaman modal di Indonesia. Berbagai hasil penelitian terkait dengan bidang penanaman modal dan otonomi daerah menguatkan pandangan bahwa penyelenggaraan pelayanan penanaman modal di daerah lebih diwarnai dengan ketidakpastian biaya, proses pengurusan perizinan yang lama, birokrasi yang panjang dan berbelit, serta banyaknya kebijakan daerah yang justru kontra produktif bagi peningkatan transaksi penanaman modal[4].
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian kemudian menjadi pijakan pusat untuk menarik kembali kewenangan di bidang penanaman modal yang telah didesentralisasikan ke daerah. Melalui Keppres No. 29/2004, pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN kembali dilaksanakan terpusat pada BKPM melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres No. 29/2004 tersebut memang bukan Keppres pencabutan kewenangan daerah dalam pelayanan perizinan penanaman modal –hanya menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM, tetapi merupakan prakondisi bagi proses resentralisasi.
Perihal keewenangan daerah di bidang penanaman modal, ditegaskan kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal[5]. Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah “administrasi” tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan stratejik seperti pemberian izin persetujuan penanaman modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No. 22/1999, yakni kewenangan dalam pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan, IMB, dan Izin UUG/HO.

2. Penerapan Sistem Pelayanan Terpadu Bidang Investasi di Dearah
Beberapa kebijakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, antara lain meliputi Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMA dan PMDN, dan Keppres No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN Melalaui Sistem Pelayanan Satu Atap. Berdasarkan Keppres No. 97/1993 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, dan Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999, Daerah Propinsi menyelenggarakan pelayanan administrasi untuk keperluan pelayanan penanaman modal sebagaimana yang dilakukan oleh Pusat, yaitu untuk menerbitkan Persetujuan Penanaman Modal, Izin Pelaksanaan dan Pemberian fasilitas/keringanan bea masuk dan pungutan impor lainnya. Hanya saja, Izin Pelaksanaan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Daerah Propinsi diberikan bagi penanam modal yang memperoleh Persetujuan Penanaman Modal dari Daerah setempat atau dari Kepala Perwakilan RI. Adapun pelayanan administrasi yang diberikan Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam penerbitan beberapa perizinan yang meliputi: 1). Izin Lokasi sesuai Rencana Tata Ruang, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pengelolaan sesuai ketentuan yang berlaku; 2). IMB, dan 3) Izin UUG/HO.
Dengan ditetapkannya Keppres No. 29 Tahun 2004, selanjutnya kewenangan Daerah untuk memberikan persetujuan penanaman modal, izin-izin pelaksanaan dan fasilitas penanaman modal dilimpahkan kembali ke Pusat. Proses pelayanan administrasi dalam rangka penyelenggaraan kewenangan tersebut kemudian juga beralih ke pusat. Daerah kemudian hanya menyelenggarakan pelayanan administrasi yang dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota, yaitu untuk menerbitkan beberapa perizinan seperti: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO[6].
Pelayanan administarsi penanaman modal di daerah dalam rangka penerbitan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO diselenggarakan dengan mengikuti ketentuan Inmendagri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah. Dalam Inmendagri No. 25/1998 tersebut ditegaskan bahwa pelayanan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO dilaksanakan oleh Daerah secara terpadu dalam sistem satu atap. Selain ketiga jenis perizinan tersebut, dalam sistem satu atap ini juga diselenggarakan pelayanan perizinan lain seperti: (a) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); (b) Izin Trayek; (c) Izin Peruntukkan Penggunaan tanah; (d) Kartu Tanda Penduduk; dan (e) Akta Catatan Sipil.
Dalam pelaksanaan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah melalui sistem satu atap ini, karakter pelayanan tidak jauh dari gambaran pelayanan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Pertama, Pada umumnya Daerah kurang perhatian terhadap standar waktu dan biaya untuk proses pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Sebagai akibatnya waktu yang diperlukan bagi calon penanam modal untuk menyelesaikan perizinan penanaman modal di daerah sulit diperkirakan. Penyelesaian perizinan penanaman modal di daerah seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit; Kedua, Lemahnya koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dengan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Tidak ada hubungan kerja yang jelas antara instansi yang menerbitkan Izin Lokasi, Instansi yang menerbitkan IMB dan Instansi yang menerbitkan Izin UUG/HO. Masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri[7]. Ketiga, Meskipun terdapat instansi tertentu di daerah yang menangani bidang penanaman modal, tetapi kewenangan instansi tersebut tidak memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam perizinan penanaman modal. Hal ini, karena kewenangan pelayanan perizinan masih dimiliki oleh masing-masing instansi yang secara tradisional menerbitkan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO.
Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang demikian tentu saja membentuk citra buruk terhadap iklim penanaman modal di daerah, dan seringkali dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Namun demikian, kondisi iklim penanaman modal di daerah tersebut sebenarnya tidak memiliki relefansi yang kuat dengan kebijakan otonomi daerah, karena proses pelayanan administrasi penanaman modal pada dasarnya telah dilaksanakan oleh Daerah sebelum Daerah menerima kewenangan dari Pusat dalam bidang penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, sejak sebelum diberlakukannya UU No. 22/1999, adalah bagian dari sistem pelayanan dan perizinan di daerah. Dalam sistem ini tidak ada kejelasan apakah kasus permohonan perizinan tertentu merupakan bagian dari kegiatan penanaman modal atau bukan, semua kasus permohonan perizinan diperlakukan sama[8].

Penutup
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengindikasikan adanya perubahan kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal. Jika pilihan Pemerintah adalah membatasi kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal hanya pada penerbitan perizinan: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO, maka kebijakan pemerintah tersebut belum cukup memadai untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Perbaikan iklim penanaman modal di daerah harus dapat menyentuh sistem pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang telah dikembangkan: Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini karena penyelenggaraan administrasi penanaman modal di daerah dalam sistem pelayanan satu atap memiliki berbagai kelemahan dan merupakan hambatan administratif dalam perbaikan iklim penanaman modal di daerah.
Kebijakan sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem Pelayanan Satu Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan perubahan yang diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam pelayanan, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Untuk mewujudkan sistem pelayanan administrasi penanaman modal yang memiliki karakter demikian, salah satu strategi yang perlu dikembangkan dalam PTSP adalah melalui pembentukan Unit Pelayanan (UP) yang memiliki kewenangan khusus dalam pemberian perizinan bidang penanaman modal. UP tersebut dapat didesain dalam beberapa bentuk, antara lain:
a) Merupajan Satuan/Unit Kerja tertentu, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan penanaman modal secara terpusat. Satuan/Unit Kerja ini memiliki kewenangan untuk memproses dan menerbitkan berbagai perizinan yang merupakan pelimpahan sebagian dari kewenangan unit-unit kerja yang melayani perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
b) Merupakan Satuan/Unit Kerja yang memberikan pelayanan perizinan penanaman modal. Satuan/Unit kerja ini memiliki front line yang berfungsi untuk menerima semua permohonan perizinan penanaman modal di daerah dan back line yang memiliki hubungan kerja dengan satuan/unit kerja yang secara fungsional menerbitkan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
Kedua bentuk UP tersebut dirancang untuk mengurangi jalur birokrasi dan menyederhanakan prosedur dalam pelayanan penanaman modal di daerah. Dengan demikian, diharapkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengurusan perizinan penanaman modal di daerah akan lebih cepat dan murah. Selanjutnya, terkait dengan upaya perbaikan iklim penanaman modal di daerah, pembenahan kelembagaan ini juga harus didukung oleh perbaikan dalam standar pelayanan penanaman modal, kualitas sumber daya aparatur yang menangani bidang tersebut, dan komitmen para pimpinan di daerah.

Daftar Pustaka


Asropi, Hambatan Administratif dalam Perbaikan Iklim Penanaman Modal di Daerah, “Manajemen Pembangunan”, No. 59/III/Tahun XVI, 2007.
Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
Undang-undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Keputusan Presiden No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Keputusan Presiden No. 115/1998 tentang Tatacara Penanaman Modal
Keputusan Presiden No. 183/1998 jo. Keppres No. 37/1999, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 121/1999 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Keputusan Presiden No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999.
Keputusan Presiden No. 33/1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beebrapa kali diubah, terakhir dengan Keppres No. 120/1999.
Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang Ddidirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah
[1] Survei United Converence on Trade and Development yang dituangkan dalam World Investment Report 2004 menempatkan Indonesia pada peringkat kedua paling bawah dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja penanaman modal
[2] Pada tahun 1997, nilai PMDN mencapai Rp. 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Namun nilai PMDN terus merosot, hingga pada tahun 2003, PMDN tinggal senilai Rp. 50 triliun dengan 196 proyek. Pada November 2004, tercatat nilai PMDN hanya mencapai Rp. 33,4 triliun dengan 158 proyek. Pola yang sama tampak pada penanaman modal asing (PMA). Tahun 1997, nilai PMA tercatat sebesar 33,7 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dengan 778 proyek. Tahun 2003 nilai investasi asing ini anjlok menjadi 14 miliar dollar AS dengan 1.170 proyek. Bahkan, pada November 2004, nilai PMA baru tercatat 9,6 miliar dollar AS dengan 1.066 proyek.
[3] Berdasarkan Keppres No. 117/1999 tentang Perubahan Kedua atas Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal, maka Gubernur Kepala Daerah Provinsi dapat menerbitkan surat persetujuan penanaman modal kepada calon penanam modal, baik dalam rangka PMA maupun PMD, yang juga berlaku sebagai izin prinsip. Ketentuan tentang kewenangan gubernur tersebut juga ditemukan dalam Keppres No. 120/1999 tentang Perubahan Atas Keppres No. 33/1981 yang telah diperbaharui dengan Keppres No. 113/1988.
[4] Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
[5] Lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, dan bandingkan dengan UU No. 22 tahun 2004 pasal 11, dan PP No. 25 tahun 2000 terkait dengan kewenangan daerah di bidang investasi.
[6] Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 ayat (1) butir n, disebutkan “pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota” sebagai kewenangan Daerah Propinsi dalam bidang penanaman modal. Dengan demikian, penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal yang dilaksanakan oleh Daerah Propinsi adalah serupa dengan pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh kabupaten/kota. Hanya saja, lingkup kewenangan Daerah Propinsi adalah untuk pelayanan perizinan yang sifatnya lintas kabupaten/kota.
[7] Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
[8] ibid

Tidak ada komentar: