Kamis, 21 Agustus 2008

Jalan Menuju Kebangkitan

Oleh: Asropi
(diterbitkan di Seputar Indonesia, Selasa 27 Mei 2008)


Entah tinggal berapa persen penduduk kita yang masih optimis akan nasib baik anak cucunya di masa depan. Bangsa ini tengah bersusah payah dibawah tekanan kemiskinan, lapangan kerja, harga minyak dunia, harga komoditas, dan musibah alam, birokrasi sebagai mesin pembangunan pun seperti keteteran menyikapi berbagai kondisi yang berkembang. Setali tiga uang, private sector dan civil society, juga harus berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Memang tidak ada yang dapat memastikan kondisi bangsa ini dalam kurun waktu lima, sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Dapat saja kondisinya menjadi lebih baik, tidak jauh berbeda, atau bahkan jauh lebih buruk dari sekarang.
Renungan ini bukanlah pola piker pesimistis. Pemikiran ini sebagai refleksi atas skenario yang potensial terjadi jika tidak ada tindakan yang efektif untuk mengatasi berbagai persoalan. Para futurist berargumen, bahwa di masa mendatang tekanan pada setiap bangsa semakin kuat dan kompleks, sebagai efek globalisasi, global warming, polusi lingkungan, meningkatnya terorisme, dan makin melebarnya kesenjangan ekonomi antar penduduk dan antar negara. Pendek kata, yang dihadapi bangsa ini sekarang baru ‘pemanasan’ dari turbulence dengan daya tekan jauh lebih dahsyat.

Menemukenali trigger dan driver kebangkitan
Tidak ada alternative lain, bangsa ini harus bangkit dan melakukan pembenahan (reform) dari sekarang. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menemukan pemicu (trigger) dan pengarah (driver) kebangkitan. Selanjutnya mengenalinya, dan menjadikannya sebagai sumber energi bagi perubahan. Trigger dan driver kebangkitan ini sangat penting, sehubungan dengan kontribusinya dalam pembentukan visi dan strategi perubahan, sehingga reformasi bukan sekedar utopia.
Mencermati krisis yang terjadi sekarang, sebenarnya tidak sulit menemukenali trigger kebangkitan. Dia telah menjadi bagian kehidupan kita. Keduanya mewujud dalam beragam bentuk krisis seperti krisis ekologi, krisis energi, dan krisis komoditi. Semua itu sebenarnya adalah efek dari suatu strategi pembangunan dan industrialisasi yang tidak memperdulikan keberlanjutan dan nasib generasi mendatang. Lingkungan hidup menjadi rusak, cadangan energi yang tidak terbarukan semakin menipis, hutan tidak memadai lagi sebagai penyerap emisi gas karbondioksida, dan iklim mengalami perubahan yang mencengangkan dan mengkhawatirkan.
Untuk driver, kita bisa menemukannya pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pola ini adalah driver yang sangat kuat bagi kebangkitan kita. Selama ini, proses pembangunan kita telah mengakibatkan konversi lahan pertanian ke non pertanian, dengan pertumbuhan 145.000 ha pertahun. Deforestasi pun masih semarak. Peralihan fungsi kawasan hutan menjadi daerah pemukiman, perkebunan, perindustrian, pertambangan, kebakaran, dan pembalakan liar membawa kehancuran hutan Indonesia. Deforestasi ini terjadi sangat cepat. Data dari Departemen Kehutanan menunjukan angka deforestasi mencapai 1,87 juta hektare untuk periode 1985-1997, 2,83 juta hektar untuk periode 1997-2000, dan 1,18 juta hektar untuk periode 2000-2005. Efek dari konversi lahan pertanian dan deforestasi ini telah kita ”nikmati”. Jika terus dibiarkan berlanjut, kecenderungan ini menjurus pada kehancuran bangsa.
Menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai driver kebangkitan, sama artinya dengan mengkaji ulang paradigma, pendekatan dan seluruh strategi pembangunan yang telah dijalankan. Seluruh komponen bangsa, khususnya para pemimpin negeri, harus berani dan bersungguh-sungguh untuk menilai kesesuaian seluruh kebijakan pembangunan yang diberlakukan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Evaluasi dilakukan pada semua bidang. Kebijakan yang tidak sejalan harus segera digantikan dengan kebijakan baru yang dapat menjamin generasi mendatang dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.

DNA manajemen kebangkitan
Sebagian dari kita mungkin masih meragukan kemampuan bangsa untuk bangkit karena kuatnya impitan krisis. Tetapi tengoklah negara-negara maju sekarang. Sebagian besar dari mereka memiliki sejarah krisis di masa lalu. Sebut saja Jepang dan negara-negara Eropa. Mereka pernah luluh lantak karena terlibat dua kali perang dunia di abad 20. Atau tengoklah sejarah bangsa-bangsa di Asia yang hampir semuanya pernah mengalami penjajahan. Tetapi sekarang umumnya mereka jauh lebih baik dari kita. China bahkan kini telah tumbuh sebagai negara yang diprediksi akan menggeser dominasi AS dalam konfigurasi internasional.
Belajar dari kebangkitan negara-negara maju, krisis selalu ditempatkan sebagai trigger perubahan. Bangsa ini pun sekarang telah mendapatkan trigger-nya, yaitu berbagai krisis yang semakin menguat akhir-akhir ini. Dengan trigger kebangkitan ini, dan ditambah dengan driver pembangunan berkelanjutan, selanjutnya dapat dirumuskan berbagai strategi baru pembangunan yang dapat mengangkat bangsa dari keterpurukan dan menghindari dari ancaman kehancuran di masa depan.
Meski demikian, karakter alamiah dari aktivitas reformasi selalu dihadapkan dengan berbagai hambatan. Karena itu, kebangkitan yang di-drive oleh pembangunan berkelanjutan juga memerlukan strategi yang memudahkan penerapannya. Strategi tersebut terfokus terutama pada perubahan DNA –deoxyribonucleicacid, istilah biologi yang menunjukkan karakter- manajemen pemerintah, yang sesuai dalam kondisi serba krisis, yaitu yang mendukung bertumbuhnya gagasan kreatif dan inovasi.
Karena itu, tugas terpenting pemerintah sekarang adalah menciptakan atmosfir yang kondusif bagi berkembangnya inovasi, baik pada birokrasi pemerintah sendiri maupun pada lingkungannya. Birokrasi pemerintah harus mengalihkan pendekatan yang rule driven menuju result driven. Pendekatan ini juga dibarengi dengan penguatan public accountability. Jika DNA dapat ditemukan, dan trigger menjadi penyemangat dan driver menjadi pembimbing, tidak mustahil bangsa ini menjadi terpandang dalam konfigurasi ekonomi politik internasional

Sistem Pelayanan Terpadu: Strategi Perbaikan Iklim Investasi di Daerah

Oleh : Asropi
(diterbitkan di "Bunga Rampai Administrasi Publik", Lembaga Administrasi Negara, 2007)
Abstrak
Perbaikan iklim investasi di daerah merupakan keniscayaan bagi peningkatan kinerja investasi nasional. Salah satu aspek yang perlu segera dibenahi dalam upaya perbaikan iklim investasi di daerah tersebut, adalah kondisi pelayanan perizinan bidang investasi yang diselenggarakan oleh para aparatur pemerintah di daerah. Secara faktual, pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah daerah dalam bidang tersebut ”kurang menguntungkan” para calon investor yang berniat menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan terutama oleh lamanya waktu yang diperlukan dalam proses perizinan tersebut. Keadaan yang demikian ini tentu saja harus diperbaiki, khususnya melalui penerapan sistem pelayanan terpadu di daerah.

Pendahuluan
Sejak diterapkannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kompleksitas persoalan yang dihadapi para pelaku bisnis yang bermaksud menanamkan modalnya di Indonesia semakin meningkat. Berbagai hambatan investasi digelar didaerah, dan mewujud dalam berbagai bentuk: dari kebijakan pajak dan retribusi daerah sampai ke pungutan liar, dari ketidakpastian biaya dan waktu sampai ke uang pelicin. Sebagai akibatnya, dalam konteks investasi, kebijakan otonomi daerah diyakini banyak pihak justru telah menimbulkan efek yang counterproductive, dan pada gilirannya kemudian mengurangi daya tarik investasi Indonesia.
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian, tentu saja akan memperburuk kinerja penanaman modal nasional[1]. Tanpa perbaikan pada kondisi ini, maka perkembangan penanaman modal yang sejak tahun 1997 sampai dengan 2004 sudah “cukup memprihatinkan”[2], akan terus berlanjut dengan jumlah dan nilai penanaman modal yang semakin menurun. Terkait dengan strategi Presiden Yudhoyono untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penanaman modal, tampaknya strategi tersebut juga akan menemui banyak hambatan jika kondisi iklim penanaman modal di daerah tidak segera ditangani.
Banyak pilihan yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Salah satu kebijakan terkait dengan kepentingan tersebut, adalah penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang didasarkan pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Kebijakan ini sangat menarik untuk dicermati, karena jika ditilik pada substansinya, memiliki kemiripan dengan Keppres 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres ini pernah “dicurigai” pemerintah daerah sebagai upaya pemerintah pusat untuk menarik kembali kewenangan penanaman modal yang pernah didesentralisasikan. Di sisi lain, secara teoritik, PTSP dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dalam bidang investasi, melalui penyederhanaan perizinan dan percepatan waktu penyelesaian.
Menilik kondisi tersebut diatas, maka kebijakan PTSP ini memiliki potensi “ditolak” pemerintah daerah, sehingga kebijakan dimaksud tidak akan mampu menghasilkan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, desain kebijakan ini harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat matang, untuk memberikan jaminan bahwa iklim penanaman modal di daerah akan segera kondusif bagi peningkatan kinerja penanaman modal, jika pada saatnya kebijakan ini diimplementasikan. Uraian lebih lanjut tentang berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mendesain PTSP selanjutnya akan dibahas dalam tulisan berikut.

Pembahasan
1. Desentralisasi Pelayanan Penanaman Modal
Kewenangan daerah di bidang penanaman modal relatif lebih luas pada saat diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum masa UU No. 22 tahun 1999 tersebut, daerah terlibat di bidang penanaman modal hanya dalam pelayanan perizinan yang meliputi Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Undang-undang Gangguan (UUG/HO) yang diperlukan para investor sebagai syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Tetap. Setelah tahun 1999, kewenangan daerah meluas sehingga daerah dapat menerbitkan berbagai perizinan sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh pusat[3]. Dengan kewenangan tersebut, daerah selanjutnya dapat menangani dan menerbitkan surat persetujuan penanaman modal bagi para calon investor yang memproses perizinan penanaman modalnya langsung di daerah, Izin Pelaksanaannya, dan fasilitas penanaman modal.
Perluasan kewenangan daerah di bidang penanaman modal tersebut, segera direspon oleh pemerintah daerah melalui pembentukan kelembagaan dan perumusan berbagai kebijakan bidang penanaman modal di tingkat daerah. Hanya saja, respon tersebut oleh beberapa pihak kemudian dinilai justru kian memperburuk iklim penanaman modal di Indonesia. Berbagai hasil penelitian terkait dengan bidang penanaman modal dan otonomi daerah menguatkan pandangan bahwa penyelenggaraan pelayanan penanaman modal di daerah lebih diwarnai dengan ketidakpastian biaya, proses pengurusan perizinan yang lama, birokrasi yang panjang dan berbelit, serta banyaknya kebijakan daerah yang justru kontra produktif bagi peningkatan transaksi penanaman modal[4].
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian kemudian menjadi pijakan pusat untuk menarik kembali kewenangan di bidang penanaman modal yang telah didesentralisasikan ke daerah. Melalui Keppres No. 29/2004, pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN kembali dilaksanakan terpusat pada BKPM melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres No. 29/2004 tersebut memang bukan Keppres pencabutan kewenangan daerah dalam pelayanan perizinan penanaman modal –hanya menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM, tetapi merupakan prakondisi bagi proses resentralisasi.
Perihal keewenangan daerah di bidang penanaman modal, ditegaskan kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal[5]. Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah “administrasi” tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan stratejik seperti pemberian izin persetujuan penanaman modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No. 22/1999, yakni kewenangan dalam pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan, IMB, dan Izin UUG/HO.

2. Penerapan Sistem Pelayanan Terpadu Bidang Investasi di Dearah
Beberapa kebijakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, antara lain meliputi Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMA dan PMDN, dan Keppres No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN Melalaui Sistem Pelayanan Satu Atap. Berdasarkan Keppres No. 97/1993 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, dan Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999, Daerah Propinsi menyelenggarakan pelayanan administrasi untuk keperluan pelayanan penanaman modal sebagaimana yang dilakukan oleh Pusat, yaitu untuk menerbitkan Persetujuan Penanaman Modal, Izin Pelaksanaan dan Pemberian fasilitas/keringanan bea masuk dan pungutan impor lainnya. Hanya saja, Izin Pelaksanaan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Daerah Propinsi diberikan bagi penanam modal yang memperoleh Persetujuan Penanaman Modal dari Daerah setempat atau dari Kepala Perwakilan RI. Adapun pelayanan administrasi yang diberikan Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam penerbitan beberapa perizinan yang meliputi: 1). Izin Lokasi sesuai Rencana Tata Ruang, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pengelolaan sesuai ketentuan yang berlaku; 2). IMB, dan 3) Izin UUG/HO.
Dengan ditetapkannya Keppres No. 29 Tahun 2004, selanjutnya kewenangan Daerah untuk memberikan persetujuan penanaman modal, izin-izin pelaksanaan dan fasilitas penanaman modal dilimpahkan kembali ke Pusat. Proses pelayanan administrasi dalam rangka penyelenggaraan kewenangan tersebut kemudian juga beralih ke pusat. Daerah kemudian hanya menyelenggarakan pelayanan administrasi yang dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota, yaitu untuk menerbitkan beberapa perizinan seperti: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO[6].
Pelayanan administarsi penanaman modal di daerah dalam rangka penerbitan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO diselenggarakan dengan mengikuti ketentuan Inmendagri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah. Dalam Inmendagri No. 25/1998 tersebut ditegaskan bahwa pelayanan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO dilaksanakan oleh Daerah secara terpadu dalam sistem satu atap. Selain ketiga jenis perizinan tersebut, dalam sistem satu atap ini juga diselenggarakan pelayanan perizinan lain seperti: (a) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); (b) Izin Trayek; (c) Izin Peruntukkan Penggunaan tanah; (d) Kartu Tanda Penduduk; dan (e) Akta Catatan Sipil.
Dalam pelaksanaan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah melalui sistem satu atap ini, karakter pelayanan tidak jauh dari gambaran pelayanan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Pertama, Pada umumnya Daerah kurang perhatian terhadap standar waktu dan biaya untuk proses pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Sebagai akibatnya waktu yang diperlukan bagi calon penanam modal untuk menyelesaikan perizinan penanaman modal di daerah sulit diperkirakan. Penyelesaian perizinan penanaman modal di daerah seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit; Kedua, Lemahnya koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dengan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Tidak ada hubungan kerja yang jelas antara instansi yang menerbitkan Izin Lokasi, Instansi yang menerbitkan IMB dan Instansi yang menerbitkan Izin UUG/HO. Masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri[7]. Ketiga, Meskipun terdapat instansi tertentu di daerah yang menangani bidang penanaman modal, tetapi kewenangan instansi tersebut tidak memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam perizinan penanaman modal. Hal ini, karena kewenangan pelayanan perizinan masih dimiliki oleh masing-masing instansi yang secara tradisional menerbitkan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO.
Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang demikian tentu saja membentuk citra buruk terhadap iklim penanaman modal di daerah, dan seringkali dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Namun demikian, kondisi iklim penanaman modal di daerah tersebut sebenarnya tidak memiliki relefansi yang kuat dengan kebijakan otonomi daerah, karena proses pelayanan administrasi penanaman modal pada dasarnya telah dilaksanakan oleh Daerah sebelum Daerah menerima kewenangan dari Pusat dalam bidang penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, sejak sebelum diberlakukannya UU No. 22/1999, adalah bagian dari sistem pelayanan dan perizinan di daerah. Dalam sistem ini tidak ada kejelasan apakah kasus permohonan perizinan tertentu merupakan bagian dari kegiatan penanaman modal atau bukan, semua kasus permohonan perizinan diperlakukan sama[8].

Penutup
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengindikasikan adanya perubahan kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal. Jika pilihan Pemerintah adalah membatasi kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal hanya pada penerbitan perizinan: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO, maka kebijakan pemerintah tersebut belum cukup memadai untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Perbaikan iklim penanaman modal di daerah harus dapat menyentuh sistem pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang telah dikembangkan: Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini karena penyelenggaraan administrasi penanaman modal di daerah dalam sistem pelayanan satu atap memiliki berbagai kelemahan dan merupakan hambatan administratif dalam perbaikan iklim penanaman modal di daerah.
Kebijakan sistem PTSP dapat saja sebagai alternatif perbaikan dari Sistem Pelayanan Satu Atap. Namun demikian, sistem baru ini tidak akan memberikan perubahan yang diharapkan, jika tidak dapat menunjukan adanya efisien dalam pelayanan, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Untuk mewujudkan sistem pelayanan administrasi penanaman modal yang memiliki karakter demikian, salah satu strategi yang perlu dikembangkan dalam PTSP adalah melalui pembentukan Unit Pelayanan (UP) yang memiliki kewenangan khusus dalam pemberian perizinan bidang penanaman modal. UP tersebut dapat didesain dalam beberapa bentuk, antara lain:
a) Merupajan Satuan/Unit Kerja tertentu, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan penanaman modal secara terpusat. Satuan/Unit Kerja ini memiliki kewenangan untuk memproses dan menerbitkan berbagai perizinan yang merupakan pelimpahan sebagian dari kewenangan unit-unit kerja yang melayani perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
b) Merupakan Satuan/Unit Kerja yang memberikan pelayanan perizinan penanaman modal. Satuan/Unit kerja ini memiliki front line yang berfungsi untuk menerima semua permohonan perizinan penanaman modal di daerah dan back line yang memiliki hubungan kerja dengan satuan/unit kerja yang secara fungsional menerbitkan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
Kedua bentuk UP tersebut dirancang untuk mengurangi jalur birokrasi dan menyederhanakan prosedur dalam pelayanan penanaman modal di daerah. Dengan demikian, diharapkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengurusan perizinan penanaman modal di daerah akan lebih cepat dan murah. Selanjutnya, terkait dengan upaya perbaikan iklim penanaman modal di daerah, pembenahan kelembagaan ini juga harus didukung oleh perbaikan dalam standar pelayanan penanaman modal, kualitas sumber daya aparatur yang menangani bidang tersebut, dan komitmen para pimpinan di daerah.

Daftar Pustaka


Asropi, Hambatan Administratif dalam Perbaikan Iklim Penanaman Modal di Daerah, “Manajemen Pembangunan”, No. 59/III/Tahun XVI, 2007.
Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
Undang-undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Keputusan Presiden No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Keputusan Presiden No. 115/1998 tentang Tatacara Penanaman Modal
Keputusan Presiden No. 183/1998 jo. Keppres No. 37/1999, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 121/1999 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Keputusan Presiden No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999.
Keputusan Presiden No. 33/1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beebrapa kali diubah, terakhir dengan Keppres No. 120/1999.
Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang Ddidirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah
[1] Survei United Converence on Trade and Development yang dituangkan dalam World Investment Report 2004 menempatkan Indonesia pada peringkat kedua paling bawah dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja penanaman modal
[2] Pada tahun 1997, nilai PMDN mencapai Rp. 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Namun nilai PMDN terus merosot, hingga pada tahun 2003, PMDN tinggal senilai Rp. 50 triliun dengan 196 proyek. Pada November 2004, tercatat nilai PMDN hanya mencapai Rp. 33,4 triliun dengan 158 proyek. Pola yang sama tampak pada penanaman modal asing (PMA). Tahun 1997, nilai PMA tercatat sebesar 33,7 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dengan 778 proyek. Tahun 2003 nilai investasi asing ini anjlok menjadi 14 miliar dollar AS dengan 1.170 proyek. Bahkan, pada November 2004, nilai PMA baru tercatat 9,6 miliar dollar AS dengan 1.066 proyek.
[3] Berdasarkan Keppres No. 117/1999 tentang Perubahan Kedua atas Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal, maka Gubernur Kepala Daerah Provinsi dapat menerbitkan surat persetujuan penanaman modal kepada calon penanam modal, baik dalam rangka PMA maupun PMD, yang juga berlaku sebagai izin prinsip. Ketentuan tentang kewenangan gubernur tersebut juga ditemukan dalam Keppres No. 120/1999 tentang Perubahan Atas Keppres No. 33/1981 yang telah diperbaharui dengan Keppres No. 113/1988.
[4] Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
[5] Lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, dan bandingkan dengan UU No. 22 tahun 2004 pasal 11, dan PP No. 25 tahun 2000 terkait dengan kewenangan daerah di bidang investasi.
[6] Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 ayat (1) butir n, disebutkan “pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota” sebagai kewenangan Daerah Propinsi dalam bidang penanaman modal. Dengan demikian, penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal yang dilaksanakan oleh Daerah Propinsi adalah serupa dengan pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh kabupaten/kota. Hanya saja, lingkup kewenangan Daerah Propinsi adalah untuk pelayanan perizinan yang sifatnya lintas kabupaten/kota.
[7] Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
[8] ibid

Rabu, 20 Agustus 2008

Hambatan Administratif dalam Perbaikan Iklim Penanaman Modal di Daerah

Oleh : Asropi
(diterbitkan di "Manajemen Pembangunan" No. 59/III/Tahun XVI, 2007)

Abstrak
Investasi merupakan motor penggerak roda pembangunan. Tanpa dukungan investasi yang memadai, pembangunan suatu negara tidak akan berjalan dengan baik. Bahkan, hasil pembangunan dapat negatif yang diindikasikan dari tingginya tingkat kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran. Bagi Indonesia, investasi dewasa ini juga sangat dibutuhkan terutama untuk mendongkrak kinerja ekonomi pasca krisis yang berkepanjangan. Namun demikian, iklim investasi di negara ini belum dapat menjadi daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu penyebab buruknya iklim investasi tersebut adalah faktor administratif, yakni kebijakan yang terkait dengan proses perijinan di bidang investasi, khususnya yang ada di daerah. Penataan pada aspek administratif dari investasi di daerah ini perlu segera dibenahi, karena kinerja pelayanan investasi di daerah akan mempengaruhi kinerja investasi nasional secara keseluruhan.

I. Pendahuluan
Kebijakan otonomi daerah oleh beberapa pihak telah dipandang sebagai salah satu penyebab lambannya geliat penanaman modal di Indonesia. Kebijakan otonomi daerah dicurigai telah meningkatkan transaction cost dalam proses penanaman modal baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) ataupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Para investor yang melakukan pengurusan perizinan, menghadapi berbagai pungutan yang relatif lebih banyak dibandingkan ketika kewenangan bidang tersebut belum didesentralisasikan. Selain itu, penyelenggaraan pelayaanan penanaman modal di daerah juga diwarnai dengan ketidakpastian biaya dan waktu penyelesaian proses perizinan.
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian, tentu saja akan memperburuk kinerja penanaman modal nasional[1]. Tanpa perbaikan pada kondisi ini, maka perkembangan penanaman modal yang sejak tahun 1997 sampai dengan 2004 sudah “cukup memprihatinkan”[2], akan terus berlanjut dengan jumlah dan nilai penanaman modal yang semakin menurun. Terkait dengan strategi Presiden Yudhoyono untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penanaman modal, tampaknya strategi tersebut juga akan menemui banyak hambatan jika kondisi iklim penanaman modal di daerah tidak segera ditangani.
Banyak pilihan yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Namun demikian, menilik substansi Keppres 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tampaknya strategi yang cenderung dipilih pemerintah adalah kebijakan yang tidak populer, yakni dengan menarik kembali kewenangan penanaman modal yang pernah didesentralisasikan. Pilihan terhadap kebijakan ini harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat matang, untuk memberikan jaminan bahwa iklim penanaman modal di daerah akan segera kondusif bagi peningkatan kinerja penanaman modal, jika kebijakan ini kemudian diimplementasikan.
Tulisan ini tidak akan mendalami bahasan tentang penting tidaknya desentralisasi atau sentralisasi bidang penanaman modal. Tetapi akan mencoba mengangkat aspek lain dari fenomena penanaman modal di daerah, yang bisa jadi lebih penting untuk segera diperbaiki sebelum terjadi perubahan yang signifikan terhadap kewenangan daerah di bidang penanaman modal. Aspek tersebut adalah pelayanan administrasi penanaman modal yang telah dikembangkan di daerah, dan telah diterapkan sebelum UU No. 22/1999 diimplementasikan.
II. Desentralisasi Pelayanan Penanaman Modal
Kewenangan daerah di bidang penanaman modal relatif lebih luas pada saat diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum masa UU No. 22 tahun 1999 tersebut, daerah terlibat di bidang penanaman modal hanya dalam pelayanan perizinan yang meliputi Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Izin Undang-undang Gangguan (UUG/HO) yang diperlukan para investor sebagai syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Tetap. Setelah tahun 1999, kewenangan daerah meluas sehingga daerah dapat menerbitkan berbagai perizinan sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh pusat[3]. Dengan kewenangan tersebut, daerah selanjutnya dapat menangani dan menerbitkan surat persetujuan penanaman modal bagi para calon investor yang memproses perizinan penanaman modalnya langsung di daerah, Izin Pelaksanaannya, dan fasilitas penanaman modal.
Perluasan kewenangan daerah di bidang penanaman modal tersebut, segera direspon oleh pemerintah daerah melalui pembentukan kelembagaan dan perumusan berbagai kebijakan bidang penanaman modal di tingkat daerah. Hanya saja, respon tersebut oleh beberapa pihak kemudian dinilai justru kian memperburuk iklim penanaman modal di Indonesia. Berbagai hasil penelitian terkait dengan bidang penanaman modal dan otonomi daerah menguatkan pandangan bahwa penyelenggaraan pelayanan penanaman modal di daerah lebih diwarnai dengan ketidakpastian biaya, proses pengurusan perizinan yang lama, birokrasi yang panjang dan berbelit, serta banyaknya kebijakan daerah yang justru kontra produktif bagi peningkatan transaksi penanaman modal[4].
Iklim penanaman modal di daerah yang demikian kemudian menjadi pijakan pusat untuk menarik kembali kewenangan di bidang penanaman modal yang telah didesentralisasikan ke daerah. Melalui Keppres No. 29/2004, pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN kembali dilaksanakan terpusat pada BKPM melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keppres No. 29/2004 tersebut memang bukan Keppres pencabutan kewenangan daerah dalam pelayanan perizinan penanaman modal –hanya menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM, tetapi merupakan prakondisi bagi proses resentralisasi.
Perihal keewenangan daerah di bidang penanaman modal, ditegaskan kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa lingkup kewenangan daerah di bidang penanaman modal adalah dalam penyelenggaraaan pelayanan administrasi penananaman modal[5]. Tidak ada penjelasan detail tentang ketentuan tersebut, demikian pula belum ada kebijakan turunan untuk menjabarkan ketentuan dimaksud. Namun demikian, penggunaan istilah “administrasi” tampaknya merupakan pembatasan terhadap kewenangan daerah di bidang penanaman modal. Dengan pembatasan kewenangan ini, daerah tidak lagi memiliki kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan stratejik seperti pemberian izin persetujuan penanaman modal, izin pelaksanaan, dan fasilitas penanaman modal. Dengan demikian, berdasarkan UU No. 32/2004 Pemerintah Pusat dapat mengembalikan kewenangan daerah di bidang penanaman modal pada kondisi sebelum ditetapkannya UU No. 22/1999, yakni kewenangan dalam pemberian perizinan: Izin Lokasi, Izin Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan, IMB, dan Izin UUG/HO.
III. Pelayanan Administrasi Penanaman Modal di Dearah
Beberapa kebijakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, antara lain meliputi Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMA dan PMDN, dan Keppres No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN Melalaui Sistem Pelayanan Satu Atap. Berdasarkan Keppres No. 97/1993 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999, dan Keputusan Meninves/Kepala BKPM No. 38/SK/1999, Daerah Propinsi menyelenggarakan pelayanan administrasi untuk keperluan pelayanan penanaman modal sebagaimana yang dilakukan oleh Pusat, yaitu untuk menerbitkan Persetujuan Penanaman Modal, Izin Pelaksanaan dan Pemberian fasilitas/keringanan bea masuk dan pungutan impor lainnya. Hanya saja, Izin Pelaksanaan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Daerah Propinsi diberikan bagi penanam modal yang memperoleh Persetujuan Penanaman Modal dari Daerah setempat atau dari Kepala Perwakilan RI. Adapun pelayanan administrasi yang diberikan Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam penerbitan beberapa perizinan yang meliputi: 1). Izin Lokasi sesuai Rencana Tata Ruang, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pengelolaan sesuai ketentuan yang berlaku; 2). IMB, dan 3) Izin UUG/HO.
Dengan ditetapkannya Keppres No. 29 Tahun 2004, selanjutnya kewenangan Daerah untuk memberikan persetujuan penanaman modal, izin-izin pelaksanaan dan fasilitas penanaman modal dilimpahkan kembali ke Pusat. Proses pelayanan administrasi dalam rangka penyelenggaraan kewenangan tersebut kemudian juga beralih ke pusat. Daerah kemudian hanya menyelenggarakan pelayanan administrasi yang dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota, yaitu untuk menerbitkan beberapa perizinan seperti: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO[6].
Pelayanan administarsi penanaman modal di daerah dalam rangka penerbitan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO diselenggarakan dengan mengikuti ketentuan Inmendagri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah. Dalam Inmendagri No. 25/1998 tersebut ditegaskan bahwa pelayanan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO dilaksanakan oleh Daerah secara terpadu dalam sistem satu atap. Selain ketiga jenis perizinan tersebut, dalam sistem satu atap ini juga diselenggarakan pelayanan perizinan lain seperti: (a) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); (b) Izin Trayek; (c) Izin Peruntukkan Penggunaan tanah; (d) Kartu Tanda Penduduk; dan (e) Akta Catatan Sipil.
Dalam pelaksanaan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah melalui sistem satu atap ini, karakter pelayanan tidak jauh dari gambaran pelayanan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Pertama, Pada umumnya Daerah kurang perhatian terhadap standar waktu dan biaya untuk proses pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Sebagai akibatnya waktu yang diperlukan bagi calon penanam modal untuk menyelesaikan perizinan penanaman modal di daerah sulit diperkirakan. Penyelesaian perizinan penanaman modal di daerah seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit; Kedua, Lemahnya koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dengan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah. Tidak ada hubungan kerja yang jelas antara instansi yang menerbitkan Izin Lokasi, Instansi yang menerbitkan IMB dan Instansi yang menerbitkan Izin UUG/HO. Masing-masing instansi bekerja sendiri-sendiri[7]. Ketiga, Meskipun terdapat instansi tertentu di daerah yang menangani bidang penanaman modal, tetapi kewenangan instansi tersebut tidak memadai untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam perizinan penanaman modal. Hal ini, karena kewenangan pelayanan perizinan masih dimiliki oleh masing-masing instansi yang secara tradisional menerbitkan Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO.
Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang demikian tentu saja membentuk citra buruk terhadap iklim penanaman modal di daerah, dan seringkali dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Namun demikian, kondisi iklim penanaman modal di daerah tersebut sebenarnya tidak memiliki relefansi yang kuat dengan kebijakan otonomi daerah, karena proses pelayanan administrasi penanaman modal pada dasarnya telah dilaksanakan oleh Daerah sebelum Daerah menerima kewenangan dari Pusat dalam bidang penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, sejak sebelum diberlakukannya UU No. 22/1999, adalah bagian dari sistem pelayanan dan perizinan di daerah. Dalam sistem ini tidak ada kejelasan apakah kasus permohonan perizinan tertentu merupakan bagian dari kegiatan penanaman modal atau bukan, semua kasus permohonan perizinan diperlakukan sama[8].
IV. Penutup
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mengindikasikan adanya perubahan kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal. Jika pilihan Pemerintah adalah membatasi kewenangan daerah dalam bidang penanaman modal hanya pada penerbitan perizinan: Izin Lokasi, IMB, dan Izin UUG/HO, maka kebijakan pemerintah tersebut belum cukup memadai untuk memperbaiki iklim penanaman modal di daerah. Perbaikan iklim penanaman modal di daerah harus dapat menyentuh sistem pelayanan administrasi penanaman modal di daerah yang telah dikembangkan: Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini karena penyelenggaraan administrasi penanaman modal di daerah dalam sistem pelayanan satu atap memiliki berbagai kelemahan dan merupakan hambatan administratif dalam perbaikan iklim penanaman modal di daerah.
Sistem pelayanan administrasi penanaman modal yang perlu dikembangkan di daerah, adalah sistem pelayanan yang efisien, memiliki standar waktu dan biaya yang jelas, memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, dan mudah diakses oleh yang membutuhkan. Untuk mewujudkan sistem pelayanan administrasi penanaman modal yang memiliki karakter demikian, salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah melalui pembentukan Unit Pelayanan (UP) yang memiliki kewenangan khusus dalam pemberian perizinan bidang penanaman modal. UP tersebut dapat didesain dalam beberapa bentuk, antara lain:
a) Merupajan Satuan/Unit Kerja tertentu, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan penanaman modal secara terpusat. Satuan/Unit Kerja ini memiliki kewenangan untuk memproses dan menerbitkan berbagai perizinan yang merupakan pelimpahan sebagian dari kewenangan unit-unit kerja yang melayani perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
b) Merupakan Satuan/Unit Kerja yang memberikan pelayanan perizinan penanaman modal. Satuan/Unit kerja ini memiliki front line yang berfungsi untuk menerima semua permohonan perizinan penanaman modal di daerah dan back line yang memiliki hubungan kerja dengan satuan/unit kerja yang secara fungsional menerbitkan perizinan Izin Lokasi, IMB, dan UUG/HO.
Kedua bentuk UP tersebut dirancang untuk mengurangi jalur birokrasi dan menyederhanakan prosedur dalam pelayanan penanaman modal di daerah. Dengan demikian, diharapkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengurusan perizinan penanaman modal di daerah akan lebih cepat dan murah. Selanjutnya, terkait dengan upaya perbaikan iklim penanaman modal di daerah, pembenahan kelembagaan ini juga harus didukung oleh perbaikan dalam standar pelayanan penanaman modal, kualitas sumber daya aparatur yang menangani bidang tersebut, dan komitmen para pimpinan di daerah.

Daftar Pustaka


Badan Koordinasi Penanaman Modal, Keputusan Menteri Negara Penanaman modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tatacara Permohonan Penanaman Modal yang Ddidirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Departemen dalam Negeri, Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25/1998 tentang Pelayanan Perizinan Satu Atap di Daerah
Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden No. 115/1998 tentang Tatacara Penanaman Modal
_________________, Keputusan Presiden No. 183/1998 jo. Keppres No. 37/1999, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 121/1999 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
_________________, Keputusan Presiden No. 29/2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
_________________, Keputusan Presiden No. 33/1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beebrapa kali diubah, terakhir dengan Keppres No. 120/1999.
_________________, Keputusan Presiden No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 115/1998 jo. Keppres No. 117/1999.
_________________, Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
_________________, Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah



[1] Survei United Converence on Trade and Development yang dituangkan dalam World Investment Report 2004 menempatkan Indonesia pada peringkat kedua paling bawah dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja penanaman modal
[2] Pada tahun 1997, nilai PMDN mencapai Rp. 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Namun nilai PMDN terus merosot, hingga pada tahun 2003, PMDN tinggal senilai Rp. 50 triliun dengan 196 proyek. Pada November 2004, tercatat nilai PMDN hanya mencapai Rp. 33,4 triliun dengan 158 proyek. Pola yang sama tampak pada penanaman modal asing (PMA). Tahun 1997, nilai PMA tercatat sebesar 33,7 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dengan 778 proyek. Tahun 2003 nilai investasi asing ini anjlok menjadi 14 miliar dollar AS dengan 1.170 proyek. Bahkan, pada November 2004, nilai PMA baru tercatat 9,6 miliar dollar AS dengan 1.066 proyek.
[3] Berdasarkan Keppres No. 117/1999 tentang Perubahan Kedua atas Keppres No. 97/1993 tentang Tatacara Penanaman Modal, maka Gubernur Kepala Daerah Provinsi dapat menerbitkan surat persetujuan penanaman modal kepada calon penanam modal, baik dalam rangka PMA maupun PMD, yang juga berlaku sebagai izin prinsip. Ketentuan tentang kewenangan gubernur tersebut juga ditemukan dalam Keppres No. 120/1999 tentang Perubahan Atas Keppres No. 33/1981 yang telah diperbaharui dengan Keppres No. 113/1988.
[4] Kompas, Sabtu, 5 Februari 2005.
[5] Lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, dan bandingkan dengan UU No. 22 tahun 2004 pasal 11, dan PP No. 25 tahun 2000 terkait dengan kewenangan daerah di bidang investasi.
[6] Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 ayat (1) butir n, disebutkan “pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota” sebagai kewenangan Daerah Propinsi dalam bidang penanaman modal. Dengan demikian, penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal yang dilaksanakan oleh Daerah Propinsi adalah serupa dengan pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh kabupaten/kota. Hanya saja, lingkup kewenangan Daerah Propinsi adalah untuk pelayanan perizinan yang sifatnya lintas kabupaten/kota.
[7] Lembaga Administrasi Negara, 2004, Laporan Kajian Efektivitas Implementasi Kebijakan Pelayanan di Daerah dalam Bidang Penanaman modal, tidak dipublikasikan.
[8] ibid

Analisis Keterkaitan Materi Diklatpim Tingkat II dengan Model Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II Pemerintah Daerah

Oleh: Asropi
(diterbitkan dalam Jurnal "Widyariset" Volume 8, Nomor I, Tahun 2005)

Abstract
The dissimilarity of authority between echelon II in central government and local government make an implication on the difference on their leadership competencies. But, there is no different treatment for them in the program “diklatpim tingkat II” activity, especially in its training and education content. Biases of training and education result potentially occur, that’s why we put research focus on the echelon II of local government. This research leads to explore the relationship between the content of the program and the leadership competencies that actually needed by local government. The research result shows that all of training and education content have a link with local government’s leadership competencies. Furthermore, each of them can develop many kinds of local government’s leadership competencies.

Key words: leadership competencies, training and education, echelon II.

Pendahuluan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil disebutkan bahwa sasaran diklat adalah terwujudnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing. Adapun kompetensi, dalam hal ini didefiniskan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang PNS yang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian, semua penyelenggaraan diklat PNS diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku PNS agar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam jabatan mereka, baik dalam jalur struktural maupun fungsional.
Berbagai diklat bagi PNS kemudian diselenggarakan untuk dapat memenuhi tuntutan kebutuhan kompetensi jabatan-jabatan tersebut. Adapun langkah awal dalam proses pengembangan kompetensi PNS ini adalah melalui penyelenggaraan diklat prajabatan, yaitu diklat yang diberikan pada mereka yang masih berstatus sebagai Calon PNS (CPNS). Selanjutnya, Diklat dalam jabatan diberikan pada pegawai setelah mereka resmi memiliki status sebagai PNS. Dalam hal ini, mereka akan mendapatkan berbagi diklat, baik yang berupa diklat kepemimpinan (diklatpim), diklat teknis, maupun diklat fungsional, tergantung pada jabatan yang mereka pangku setelah resmi sebagai PNS. Bagi para pemangku jabatan fungsional, kompetensi mereka akan dikembangkan melalui berbagai diklat fungsional dan teknis sesuai dengan prasyarat kompetensi pada jabatan terebut. Sedangkan untuk pemangku jabatan struktural, selain menerima diklat teknis mereka juga akan menerima diklatpim.
Salah satu program diklat yang dikembangkan bagi peningkatan kompetensi pemangku jabatan structural adalah program diklat kepemimpinan (diklatpim) tingkat II. Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 101 pasal 10, program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan para pejabat struktural calon pemangku atau yang telah memangku jabatan struktural eselon II baik di pusat maupun daerah. Realita yang demikian ini menjadi sangat menarik jika didekati dari sisi struktur kelembagaan dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Karena Eselon II di daerah adalah top manager di daerah mereka masing-masing, sehingga mereka memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang relatif lebih mirip dengan top manager di instansi pemerintah pusat, yaitu mereka yang memangku jabatan eselon I. Sementara pejabat eselon II di pusat adalah midle manager yang setara dengan Pejabat eselon III di daerah.
Perbedaan kewenangan antara pejabat eselon II pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut berimplikasi pada perbedaan kompetensi diantara keduanya. Oleh karena itu, penyelenggaraan diklatpim dalam satu program untuk pejabat eselon II baik yang berasal dari pusat maupun daerah dapat mengakibatkan bias pengembangan kompetensi kepemimpinan baik untuk salah satau kelompok tersebut atau untuk kedua-duanya.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan dalam rangka melihat kesesuai penyelenggaraan diklatpim, khususnya materi diklatpim tingkat II dengan kebutuhan pengembangan kompetensi kepemimpinan pejabat eselon II. Namun demikian, penelitian dibatasi hanya pada pejabat eselon II pemerintah daerah. Sehingga dalam penelitian ini, arah penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan: apakah materi diklat yang dikembangkan dalam diklatpim tingkat II memiliki keterkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh para pemangku jabatan eselon II di pemerintah daerah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penggalian data dan informasi dilakukan terhadap 100 orang pejabat eselon II pemerintah daerah peserta diklatpim tingkat II angkatan VII yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang obyektif tentang keterkaitan materi diklat struktural dengan kebutuhan pengembangan kompetensi kepemimpinan para pemangku jabatan eselon II pemerintah daerah.
Selanjutnya, tulisan ini disajikan dalam beberapa bagian, meliputi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok permasalahan, dan tujuan penelitian; Bagian konsep dan pengertian yang berisi sub bagian kompetensi kepemimpinan dan kompetensi kepemimpinan pejabat eselon II pemerintah daerah; bagian data dan analsis yang meliputi sub bagian materi diklatpim tingkat II dan sub bagian Keterkaitan Antara Materi Diklatpim Tingkat II dengan Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II Pemerintah Daerah; dan ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi.

Konsep dan Pengertian

Kompetensi Kepemimpinan
Konsep kompetensi dalam penelitian ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Spencer & Spencer (1993) dan Zwell (2000). Dalam hal ini, Spencer & Spencer (1993, p. 9) mendefinisikan kompetensi sebagai:
…an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in a job or situation.
Sedangkan Zwell (2000, p. 18) menyebutkan:
Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking.
Dari kedua definisi kompetensi tersebut, maka kompetensi dapat dinyatakan sebagai bagian dari kepribadian individual yang bersifat permanen yang dapat menentukan atau memprediksi kinerja seseorang. Adapun karakteristik dari kompetensi, selain berupa traits (Zwell, 2000, p. 8; Spencer & Spencer, 1993, p. 9), juga berupa motives, dan self concept (Spencer & Spencer, 1993, p. 9) serta knowledge dan skill (Spencer & Spencer, 1993, p. 9; Rothwell & Kazanas, 1993, p. 68).
· Traits, merujuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik (physical characteristics) dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi.
· Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi ini mengarahkan seseorang untuk menentukan atau menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Armstrong, 1990, h. 68).
· Self concept, yakni sikap, nilai atau image yang dimiliki sesorang tentang dirinya sendiri. Self concept ini akan memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Apakah ia seorang pemarah ataukah orang yang sabar dan mampu mengendalikan diri. Demikian pula, apakah ia seorang yang cerdas ataukah yang selalu mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu.
· Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu.
· Skill merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas mental atau tugas fisik tertentu. Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat “intent” dalam diri individu, skill merupakan karakteristik kompetensi yang berupa “action”. Skill mewujud sebagai perilaku yang didalamnya terdapat motives, traits, self concept dan knowledge (Spencer & Spencer, 1993, p. 9).
Kompetensi yang dimiliki aparatur pemerintah menjadi sangat penting, karena peran yang mereka miliki dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Dengan peran yang berbeda antara pegawai biasa (staff) dan para pimpinan, maka kompetensi yang diperlukan antara mereka juga berbeda. Kompetensi untuk pegawai biasa akan selaras dengan fungsinya sebagai pelaksana dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan para pimpinan. Sedangkan kompetensi untuk para pimpinan akan sesuai dengan fungsinya dalam kedudukan sebagai pemimpin dalam organisasi.
Fungsi kepemimpinan ini sangat beragam dan kompleks, yang dalam kondisi tertentu kadar penerapannya dipengaruhi oleh jenjang dalam jabatan struktural, jenis pekerjaan, atau pun wilayah kerja yang dibagi dalam “pusat” dan “daerah”. Akan tetapi secara umum, fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh semua orang yang menempati posisi jabatan pimpinan dalam organisasi. Berkaitan dengan fungsi kepemimpinan ini, Zwell (2000, p. 88) menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 15 fungsi yang umum dilaksanakan oleh pemimpin, meliputi: modeling the corporate culture, developing the corporate philosophy, establishing and maintaining standards, understanding the business, determining strategic direction, managing change, being a good follower: aligning with superior, inspiring and motivating, establishing alignment, establishing focus, holding ultimate responsibility, dealing with authority issues, determining successors, managing ambiguity, dan optimizing organizational structure and process. Dengan fungsi-fungsi kepemimpinan tersebut, pemimpin dalam posisi apapun -baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah/lokal- dituntut untuk memiliki kompetensi yang memungkinkan mereka dapat melaksankaan fungsinya dengan baik.
Adapun jenis atau macam kompetensi yang diperlukan atau harus dimiliki oleh para pimpinan, telah disebutkan oleh banyak pakar. Tiap dari mereka menguraikan kompetensi yang relatif berbeda dari yang lain. Akan tetapi, secara substansial fokus mereka sama yakni karakteristik individu yang penting dimiliki oleh para pemimpin dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Zwell (2000, p. 25-49) menyebutkan kompetensi pemimpin dapat dikelompokkan kedalam lima katagori, yang meliputi:
1.
Task achievement, yakni kompetensi-kompetensi yang berhubungan dengan pelaksanaan kerja secara baik, tentang apa yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dengan cara apa, dan bagaimana melakukannya. Kompetensi-kompetensi ini meliputi: result orientations, managing performance, influence, initiative, production efficiency, flexibility, innovation, concern for quality, continuous improvement, dan technical expertise.
2. Relationship. Katagori kompetensi ini berkaitan dengan komunikasi dan bekerja secara baik dengan orang lain serta memuaskan kebutuhan mereka. Relationship meliputi: team work, service orientation, interpersonal awareness, organizational savvy, relationship building, conflict resolution, attention to communication, dan cross-cultural sensitivity.
3. Personal attributes, yakni kompetensi-kompetensi yang secara intrinsik dimiliki individu dan berhubungan dengan apa yang mereka percaya, bagaimana mereka berfikir, merasa, belajar, dan membangun. Personal attributes meliputi kompetensi-kompetensi sebagai berikut: integrity and truth, self-development, decisiveness, decision quality, stress management, analytical thinking, dan conceptual thinking.
4. Managerial, yakni kompetensi yang secara khusus berhubungan dengan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan pegawai. Katagori kompetensi managerial meliputi: attention to communication, influence, decisiveness, decision quality, integrity and truth, building teamwork, motivating others, empowering others dan developing others.
5. Leadership, yakni kompetensi yang berkaitan dengan aktivitas memimpin organisasi dan orang-orang yang ada di dalamnya untuk mencapai tujuan, visi, dan sasaran, yang telah ditetapkan. Kompetensi kepemimpinan ini meliputi seluruh kompetensi yang termasuk dalam managerial competencies, ditambah lagi dengan kompetensi-kompetensi sebagai berilkut: visionary leadership, strategic thinking, entrepreneurial orientation, change management, building organizational commitment, dan establishing focus, purpose, principles and values.
Sedangkan Spencer & Spencer (1993, p. 25-78) dengan cara yang berbeda mengelompokkan kompetensi kepemimpinan kedalam enam katagori yang disebutnya sebagai cluster. Cluster tersebut meliputi:
1. Achievement and action. Cluster ini meliputi empat jenis kompetensi, yaitu: achievement orientation, concerning for order, quality and accuracy, initiative, dan information seeking.
2. Helping and human service, meliputi: interpersonal understanding dan customer service orientation.
3. The impact and influence. Terdiri atas kompetensi impact and influence, organizational awareness, dan relationship building.
4. Managerial competencies yang melputi developing others, directiveness, team work and cooperation dan team leadership.
5. The cognitive competencies yang meliputi analytical thinking, conceptual thinking, dan technical/personal/managerial expertise.
6. The personal effectiveness competencies yang terdiri dari empat kompetensi meliputi; self control, self-confidence, flexibility, dan organizational commitment.
Selain kompetensi-kompetensi tersebut, Spencer & Spencer (1993, p. 343) juga menambahkan beberapa kompetensi lain yang disebutnya sebagai kompetensi yang penting bagi organisasi masa depan. Kompetensi-kompetesnsi dimaksud merupakan kompetensi untuk eksekutif dan manager. Kompetensi eksekutif meliputi: strategic thinking, change leadership dan relationship management. Sedangkan untuk manager meliputi: flexibility, change implementation, entrepreneurial innovation, interpersonal understanding, empowering, team facilitation, dan portability.

Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II Pemerintah Daerah
Berkaitan dengan kompetensi kepemimpinan yang spesifik diperuntukkan bagi pejabat eselon II pemerintah daerah, Asropi (2003) menguraikan sejumlah kompetensi yang minimal harus dimiliki oleh pejabat eselon II pemerintah daerah. Kompetensi-kompetensi tersebut terdiri dari 18 jenis dan membentuk suatu model kompetensi kepemimpinan pejabatan eselon II pemerintah daerah. Adapun kompetensi dimaksud meliputi:
Entrepreneurial orientation
Dengan kompetensi ini, pemimpin memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi pemenang (champion) dalam produk baru, pelayanan, dan proses produksi. Lemah dalam kompetensi ini, pemimpin organisasi akan sulit mengembangkan bahkan mempertahankan keberlanjutan hidup organisasi, karena mereka akan kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan organisasi-organisasi sejenis yang lain. Dalam konteks birokrasi pemerintah, kompetensi ini mendorong para pejabat untuk memberikan yang terbaik pada orang-orang yang dilayani dan mendorong mereka untuk mengarahkan organisasinya pada pencapaian produk yang berkualitas tinggi. Selain itu, orientasi kinerja juga diarahkan bukan hanya untuk mengejar target anggaran yang harus dibelanjakan dalam periode waktu tertentu, tetapi terdapat perhitungan efektivitas dan efisiensi.
Strategic thinking
Adalah kemampuan untuk memahami kecenderungan perubahan lingkungan organisasi yang cepat, peluang pasar, ancaman kompetisi, dan kekuatan serta kelemahan organisasi itu sendiri. Dengan kompetensi ini, pemimpin dapat menciptakan dan menjalankan strategi organisasi. Kelemahan akan strategic thinking pada beberapa pemimpin dalam organisasi mengakibatkan pandangan yang sempit (shortsighted perspective) yang pada gilirannya akan menyulitkan organisasi dalam jangka pajang.
Flexibility
Adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menanggapi perubahan lingkungan secara cepat dan efektif. Dalam lingkungan organisasi pemerintah, flexibility sangat diperlukan untuk merespon berbagai perubahan yang sangat kompleks dalam masyarakat, perkembangan tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan ataupun tuntutan lain seperti demokratisasi, transparansi dan partisipasi dalam proses pembangunan. Kompetensi ini juga diperlukan untuk menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global yang secara langsung atau pun tidak langsung dapat mempengaruhi atmosfir kehidupan bermasyarakat di tingkat nasional dan lokal.
Relationship building
Adalah usaha untuk membangun atau menjaga pertalian (relationship) atau jejaring (networks) hubungan dengan mereka yang mungkin suatu saat akan bermanfaat bagi pencapaian tujuan-tujuan kerja (work-related goals). Kompetensi ini sangat penting, karena sebagian besar pencapaian tujuan berbagai pekerjaan ditentukan oleh kemampuan bekerja sama para pelaku yang terkait dengan pekerjaan tersebut.
Analytical thinking
Adalah memahami sesuatu melalui pemecahan atau pemilahan persoalan kedalam bagian-bagian yang lebih kecil, atau mengenali implikasi dari sesuatu melalui tahap demi tahap dari jalur sebab musabab (step by step causal way). Kompetensi ini melibatkan penggunaan logika, pemikiran yang sistematik untuk memahami, menganalisis dan menyelesaikan masalah. Mereka yang memiliki kompetensi ini mampu mengidentifikasi dan mengevaluasi beberapa penyebab yang mungkin dari suatu masalah, dan selanjutnya membangun serta melaksanakan rencana untuk mengatasi masalah.
Building organizational commitment
Kemampuan pemimpin untuk membangun loyalitas dan komitmen pekerja akan mempengaruhi semua aspek kinerja organisasi yang berhubungan dengan moral, loyalitas dan motivasi pekerja. Dengan demikian pemimpin harus mampu menciptakan kesearahan akan tindakan dan tujuan pekerja terhadap aktivitas, tujuan, misi dan visi organisasi.
Team work
Adalah kemampuan untuk berfungsi secara efektif sebagai bagian dari kelompok orang-orang yang melakukan kerja sama. Team work ini lebih dari sekedar aktivitas memainkan peran dan mempertahankan tujuan masing-masing, tetapi juga sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja anggota lain dalam tim. Dalam hal ini, meskipun tim seringkali beranggotakan orang-orang yang memiliki kontribusi berbeda-beda, namun demikian akan lebih baik jika tim memiliki anggota dengan kemampuan-kemampuan yang baik untuk hal-hal penting dari suatu proyek atau kegiatan.
Result orientation
Kompetensi ini meliputi kegiatan penetapan tujuan (goal setting), upaya keras untuk mencapai tujuan yang menantang, pengukuran kinerja, perbaikan effisiensi atau efektivitas, dan kalkulasi untung (benefit) dan rugi (cost) bagi bawahan mereka atau tim sebaik untuk pribadi mereka sendiri. Result orientation oleh Spencer & Spencer (1993, p. 25) disebut juga dengan achievement orientation.
Initiative
Yakni preferensi untuk melakukan suatu tindakan. Orang yang memiliki inisiatif tidak akan tergantung pada perintah-perintah atau petunjuk dari atasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Oleh karenanya, kompetensi inisiatif ini sangat penting bagi keberhasilan suatu organisasi.
Concern for quality
Concern for quality atau yang disebut juga dengan monitoring adalah kompetensi yang diperlukan untuk menjamin bahwa output dari setiap kegiatan memiliki akurasi yang tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan banyak pihak baik internal customers maupun external customers. Kompetensi ini merefleksikan arahan mendasar untuk mengurangi ketidakpastian dalam lingkungan sekitar.
Conceptual thinking
Adalah memahami sesuatu atau masalah dengan cara meletakkan secara bersama bagian-bagian yang terpisah (putting the pieces together) dan melihat gambaran secara utuh (seeing the large picture). Kompetensi ini melibatkan penggunaan konsep-konsep dan abstraksi untuk menemukan persamaan, dan untuk meletakkan gagasan-gagasan secara bersama dalam upaya meningkatkan pemahaman, penyelesaian masalah, hasil dalam inovasi, dan keuntungan lain. Bagi organisasi, orang dengan kompetensi conceptual thinking yang tinggi dapat dengan cepat menangkap konsep-konsep kunci dan isu-isu sentral. Mereka kemudian dapat memanfaatkan pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh dari situasi yang sama untuk menciptakan pendekatan atau penyelesaian yang sama.
Empowering others
Melalui kompetensi ini pemimpin dapat membantu orang lain dalam membangun tanggung jawab dan kompetensi mereka. Empowering others dapat dilakukan melalui sharing informasi, menumbuhkembangkan berbagai gagasan dari para pekerja, mengembangkan pekerja, pendelegasian wewenang, memberikan feed back atas hasil kerja pekerja, menunjukkan harapan positif pada berbagai persoalan, dan penghargaan atas perbaikan kinerja pekerja.
Service orientation
Service orientation merupakan kompetensi yang mendasari semua usaha (business) dari organisasi. Pemuasan kebutuhan pelanggan (customer needs) adalah tujuan akhir dari seluruh organisasi. Adapun komitmen untuk melayani dan memuaskan kebutuhan orang lain adalah kunci dari kompetensi ini. Kompetensi ini berlaku untuk semua hubungan, bukan hanya external customers. Pada tingkatan yang paling dasar, kompetensi ini melibatkan penyediaan pelayanan baik yang secara eksplisit maupun implisit dikontrakkan dalam suatu hubungan (relationship). Bentuk kontrak yang implisit adalah dalam hubungan antarsesama pekerja, seperti adanya perlakuan saling menghormati dan adanya komitmen bahwa seseorang akan melakukan apa yang telah diucapkannya. Pada tingkat yang lebih tinggi, meliputi perhatian serius atas feed back dari pelanggan untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan memonitor kepuasan mereka. Sedangkan pada tingkat yang paling tinggi, service orientation meliputi komitmen pada kepentingan terbaik jangka panjang dari orang lain.
Interpersonal awareness
Adalah kemampuan untuk mendengarkan secara akurat dan memahami pemikiran yang tidak terucapkan atau yang hanya merupakan bagian kecil yang diekspresikan, perasaan, dan perhatian orang lain. Adapun komponen kunci dari kompetensi ini adalah kemampuan untuk mendengarkan secara efektif dan memiliki empathy atas perasaan orang lain.
Developing others
Kompetensi ini penting untuk menciptakan organisasi pembelajar (learning organization) yang mendorong pekerja untuk menjadi yang terbaik. Inti dari kompetensi ini adalah developmental intent and effect daripada peran formal. Pengiriman orang pada program pelatihan rutin untuk memenuhi tuntutan organisasi (corporate requirement), tidak menunjukkan adanya intent untuk membangun orang lain. Karena itu, hal ini tidak termasuk sebagai bagian dari kompetensi developing others. Developing others biasanya diekspresikan dalam bentuk harapan positif pada orang lain, percaya bahwa orang lain ingin dan akan belajar, memberi arahan atau petunjuk, identifikasi kebutuhan pelatihan atau pengembangan, dan mendesain program untuk keperluan tersebut.
Cross-cultural sensitivity
Pada masa sekarang, hubungan antar individu dalam dunia usaha tidak lagi dapat dibatasi oleh pilihan yang bersifat primordial, berdasarkan ikatan kesukuan atau keagamaan. Mobilisasi manusia sudah sangat tinggi, sehingga orang-orang dengan latar belakang budaya ataupun ras yang berbeda dapat saling berinteraksi dengan intensitas yang tinggi. Seorang pemimpin kelompok dalam suatu kegiatan dapat memiliki anggota yang berasal dari suku bangsa yang berbeda. Demikian pula halnya dalam hubungan antara customers yang dilayani dengan mereka yang memberi pelayanan, kondisi yang terjadi menuntut orang-orang yang melaksanakan fungsi pelayanan untuk memiliki kemampuan khusus dalam memahami orang lain dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Memiliki sensitifitas dan pemahaman yang baik akan budaya orang lain, memungkinkan orang dapat mengambil sikap dan tindakan yang lebih tepat dalam menanggapi tindakan dari orang-orang yang memiliki nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Demikian pula mereka relatif akan lebih mudah untuk dipindah-pindahkan lokasi atau daerah kerjanya, dari satu lokasi ke lokasi kerja lain untuk kepentingan organisasi.
Influence
Merupakan kompetensi untuk memberikan pengaruh pada orang lain dalam rangka untuk mendapatkan dukungan atau sekedar memberikan efek tertentu pada mereka. Bagi perkembangan karir seseoranag, influence ini sangat penting. Hal ini karena influence akan memberikan impact pada organisasi yang merupakan kunci dari promosi dan peningkatan karir.
Technical expertise
Kompetensi ini meliputi dua hal sekaligus yakni penguasaan akan substansi pengetahuan yang berhubungan dengan pekerjaan (a body of job-related knowledge) dan motivasi untuk memperluas, menggunakan dan mendistribusikan pengetahuan yang berhubungan dengan kerja (work-related knowledge) kepada orang lain.

Materi Diklatpim Tingkat II
Materi diklatpim tingkat II disusun oleh LAN sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk menyusun materi diklat tersebut. Adapun struktur kurikulum diklatpim tingkat II terdiri dari Kajian Paradigma, Kajian Manajemen Stratejik, Kajian Kebijakan Publik, dan Aktualisasi. Tiap kurikulum terdiri dari sejumlah materi yang secara rinci ditunjukkan dalam tabel 1.
Tabel 1. Materi Diklatpim Tingkat II
Kurikulum
Materi
Kajian Paradigma
· Paradigma Pembangunan;
· Paradigma Belajar (Building Learning Commitment);
· Paradigma Organisasi Pembelajar (Learning Organization);
· Kepemerintahan yang Baik (Good Governance);
· Paradigma Pembangunan Sumber daya Manusia;
· Paradigma Pemberdayaan Rakyat; dan
· Paradigma Peningkatan Daya Saing.
Kajian Manajemen Stratejik
· Konsep dan Aplikasi Manajemen Stratejik;
· Perumusan Visi, Misi dan Nilai-nilai;
· Analisis Lingkungan Stratejik;
· Analisis Faktro-faktor Stratejik dan Kunci Keberhasilan;
· Rencana Stratejik (Tujuan, Sasaran, Kebijakan, Program dan Kegiatan);
· Pengukuran Kinerja;
· Sistem Pelaksanaan, Pemantauan dan Pengawasan; dan
· Sistem Pertanggungjawaban.
Kajian Kebijakan Publik

· Manajemen Kebijakan: Sistem, Proses dan Stratifikasi;
· Dinamika Proses Kebijakan Publik (Dimensi Sosial Politik);
· Formulasi Kebijakan;
· Pelaksanaan Kebijakan;
· Evaluasi Kinerja Kebijakan.
Aktualisasi

Berisikan penerapan pelbagai materi yang sudah diperoleh dalam pelatihan terhadap: isu-isu aktual; studi kasus dalam rangka pendalaman meteri pelatihan; penyusunan Kertas Kerja Kelas dan Karya Tulis Prestasi Perorangan; dan Observasi Lapangan.
Sumber: Lembaga Administrasi Negara, 2001

Keterkaitan Materi Diklatpim Tingkat II dengan Model Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II Pemerintah Daerah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi kepemimpinan pejabat eselon II pemerintah daerah dapat dipilahkan kedalam “memiliki keterkaitan” dan “tidak ada keterkaitan” dengan materi diklat. Namun demikian, dari sisi materi diklat, semua materi memiliki keterkaitan dengan kompetensi yang diperlukan oleh pejabat eselon II pemerintah daerah. Bahkan tiap materi memiliki keterkaitan dengan beragam jenis kompetensi tersebut. Gambaran keterkaitan tersebut diuraikan dalam tabel 2. berikut:
Tabel 2. Keterkaitan Materi Diklatpim Tingkat II dengan
Jenis Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II pemerintah Daerah
Materi Diklat
Jenis Kompetensi
Memiliki Keterkaitan
Tidak Ada Keterkaitan
Paradigma Pembangunan
flexibility, result orientation, initiative, service orientation, cross-cultural sensitivity, team work, influence, analytical thinking, conceptual thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others
concern for quality, interpersonal awareness, relationship building, strategic thinking, dan developing others
Paradigma Belajar

initiative, flexibility, cross-cultural sensitivity, analytical thinking,. result orientation, team work, influence, conceptual thinking, interpersonal awareness, strategic thinking, entrepreneurial orientation, dan empowering others.
concern for quality, service orientation, relationship building, building organizational commitment, dan developing others.
Paradigma Organisasi Pembelajar

cross-cultural sensitivity, flexibility, influence, team work, resulut orientation, initiative, empowering others, analytical thinking, service orientation, interpersonal awareness, relationship building,
concern for quality, entrepreneurial orientation, developing others, dan conceptual thinking
strategic thinking dan building organizational commitment.
Kepemerintahan yang Baik
service orientation, result orientation, flexibility, initiative, team work, analytical thinking,
conceptual thinking, entrepreneurial orientation, concern for quality, interpersonal awareness, relationship building, developing others, building organizational commitment, dan cross-cultural sensitivity.
strategic thinking dan empowering others
Paradigma Pembangunan Sumberdaya Manusia
Initiative, empowering others, influence, flexibility, resulut orientation, team work, relationship building, analytical thinking, strategic thinking, empowering others, entrepreneurial orientation,
cross-cultural sensitivity, service orientation, developing others dan interpersonal awareness.
concern for quality dan building organizational commitment.
Paradigma Pemberdayaan Rakyat
developing others, flexibility, result orientation, influence, initiative, strategic thinking, service orientation, interpersonal awareness, conceptual thinking, team work, empowering others, relationship building, cross-cultural sensitivity, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan concern for quality.
analytical thinking
Paradigma Peningkatan Daya Saing
Flexibility, developing others, result orientation, influence, initiative, strategic thinking, interpersonal awareness, conceptual thinking, team work, relationship building, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan analytical thinking
concern for quality, service orientation, cross-cultural sensitivity, dan empowering others
Konsep dan Aplikasi Manajemen Stratejik
result orientation, entrepreneurial orientation flexibility, developing others, influence, initiative, service orientation, conceptual thinking, team work, empowering others, relationship building, cross-cultural sensitivity, building organizational commitment, analytical thinking, dan concern for quality.
interpersonal awareness dan strategic thinking.
Perumusan Visi, Misi, dan Nilai-nilai
result orientation, conceptual thinking, flexibility, developing others, influence,
initiative, service orientation, nterpersonal awareness, team work, empowering others, relationship building, cross-cultural sensitivity,
entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan
analytical thinking.
concern for quality dan strategic thinking
Analisis Lingkungan Stratejik
flexibility, entrepreneurial orientation, analytical thinking, developing others,
result orientation, influence, initiative,
strategic thinking, service orientation, interpersonal awareness, conceptual thinking, team work, empowering others, relationship building, cross-cultural sensitivity, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan concern for quality
-
Analisis Faktor-faktor Stratejik dan Kunci Keberhasilan
entrepreneurial orientation, result orientation, initiative, building organizational commitment, analytical thinking, conceptual thinking, concern for quality, cross-cultural sensitivity, empowering others, flexibility,
influence, interpersonal awareness, relationship building,
service orientation, dan team work.
strategic thinking dan developing others
Rencana Stratejik
building organizational commitment, result orientation, entrepreneurial orientation, initiative, analytical thinking, conceptual thinking, concern for quality, flexibility, influence, relationship building, service orientation, strategic thinking, dan team work.
interpersonal awareness, cross-cultural sensitivity, empowering others, dan developing others
Pengukuran Kinerja
result orientation, building organizational commitment, analytical thinking, concern for quality, cross-cultural sensitivity,
developing others, entrepreneurial orientation, empowering others,
flexibility, interpersonal awareness, relationship building,
strategic thinking, team work, dan initiative.
influence, conceptual thinking, dan service orientation
Sistem Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pengawasan
concern for quality, result orientation, analytical thinking, building organizational commitment, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, flexibility, influence, initiative, relationship building, dan service orientation.
conceptual thinking, team work, interpersonal awareness, strategic thinking, dan empowering others
Sistem Pertanggungjawaban
result orientation, concern for quality, building organizational commitment, analytical thinking, conceptual thinking, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, flexibility, influence, initiative, interpersonal awareness, relationship building, dan service orientation.
team work dan strategic thinking



Manajemen Kebijakan
flexibility, influence, initiative, analytical thinking, building organizational commitment, conceptual thinking, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, interpersonal awareness, relationship building,
result orientation, service orientation, strategic thinking, dan team work,
concern for quality
Dinamika Proses Kebijakan Publik
flexibility, initiative, analytical thinking, building organizational commitment, conceptual thinking, concern for quality, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, influence, interpersonal awareness, relationship building, result orientation, service orientation, strategic thinking, dan team work.
-
Formulasi Kebijakan
Initiative, analytical thinking, building organizational commitment, flexibility conceptual thinking, concern for quality, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, influence, relationship building, result orientation, service orientation, strategic thinking, dan
team work.
interpersonal awareness
Pelaksanaan Kebijakan
result orientation, Influence, analytical thinking, building organizational commitment, conceptual thinking, cross-cultural sensitivity, developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, flexibility, initiative, interpersonal awareness, relationship building, service orientation, dan team work.
concern for quality dan strategic thinking
Evaluasi Kinerja Kebijakan
concern for quality, result orientation, analytical thinking, building organizational commitment, conceptual thinking,
developing others, entrepreneurial orientation, empowering others, flexibility, influence, initiative, interpersonal awareness, relationship building, service orientation, strategic thinking, dan
team work.
cross-cultural sensitivity
Sumber: diolah dari data penelitian
Dari penelitian juga diperoleh gambaran bahwa kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam diklat memiliki bobot yang berbeda-beda. Kompetensi yang secara nyata dikembangkan dalam diklat, berdasarkan bobot dari yang terbesar adalah sebagai berikut: result orientation, flexibility, initiative, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, analytical thinking, influence, concern for quality, service orientation, developing others, cross-cultural sensitivity, conceptual thinking, team work, relationship building, empowering others, strategic thinking, dan interpersonal awareness.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa semua materi yang disampaikan dalam diklatpim tingkat II dapat meningkatkan pelbagai kompetensi yang dibutuhkan oleh para pejabat eselon II pemerintah daerah. Tiap-tiap materi tersebut memberikan peningkatan tidak hanya pada satu jenis kompetensi, akan tetapi pada pelbagai jenis kompetensi. Dari kedua puluh materi yang disampaikan dalam diklat tersebut, materi “Analisis Lingkungan Stratejik” dan materi “Dinamika Proses Kebijakan Publik” merupakan materi-materi yang paling banyak mengembangkan jumlah kompetensi yang diperlukan oleh para pemangku jabatan eselon II di daerah. Kedua materi tersebut berkontribusi terhadap peningkatan kedelapan belas kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta diklatpim tingkat II. Sedangkan materi yang memiliki keterkaitan relatif paling sedikit dengan jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh pejabat eselon II pemerintah daerah adalah materi “Paradigma Pembangunan” dan materi “Sistem Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pengawasan”. Kedua materi tersebut memiliki keterkaitan dengan pengembangan tiga belas jenis kompetensi pejabat eselon II pemerintah daerah.
Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa arah pengembangan kompetensi dalam penyelenggaraan diklat, tidak sejalan dengan model kompetensi kepemimpinan pejabat eselon II pemerintah daerah. Pada model kompetensi kepemimpinan pejabat eselon II pemerintah daerah, kompetensi entrepreneurial orientation dan strategic thinking adalah yang paling utama. Sedangkan pada penyelenggaraan diklat, kompetensi result orientation dan flex sibility lebih dikembangkan dibandingkan jenis kompetensi kepemimpinan yang lain.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan diklatpim tingkat II adalah sangat penting bagi penyelenggara diklat untuk lebih memfokuskan arah pengembangan kompetensi kepemimpinan dari masing-masing materi diklat. Demikian pula, perlu diadakan pemilahan penyelenggaraan diklatpim untuk peserta yang berasal dari pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan kompetensi kepemimpinan akan menuntut perbedaan materi yang diberikan terhadap peserta diklat baik yang berasal dari pemangku jabatan eselon II pemerintah pusat maupun daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Armstrong, Michael, A Hand Book of Human Resource management, diterjemahkan oleh Sofyan Cikmat dan Haryanto, Seri Pedoman Manajemen: Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1990.
--------------------------, Performance Management, London: Kogan Page Liimited, 1994.
Asropi, Model Kompetensi Kepemimpinan Pejabat Eselon II Pemerintah Daerah, Manajemen Pembangunan, Nomor 41, 2003.
Azwar, Saifuddin, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bennis, Warren, Managing the Dream: Reflections on Leadership and Change, Cambridge, Massachusetts: Perseus Publishing, 2000.
Blaikie, Norman, Designing Social Research: The Logic of Anticipation, Cambridge: Polity Press, 2000.
Campbell, Andrew & Kathleen Sommers Luchs, Core Competence Based Strategy, London: International Thomson Business Press
Frederickson, H. George, The Spirit of Public Administration, California: Jossey-Bass Inc., 1997.
Gilley Jerry W., Nathaniel W. Boughton and Ann Maycunich, The Performance Challenge, Massachusetts: Perseus Books, 1999.
Henry, Nicholas, Public Administration and Public Affairs, fourt edition, United States of America: Prentice-Hall, Inc., 1989.
Irawan, Prasetya, Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta: STIA LAN Press, 1999.
Malhotra, Naresh K., Marketing Research: An Applied Orientation, third edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1999.
Mark, Melvin M., Gary T. Henry and George Julnes, Evaluation, California: Jossey-Bass Inc., 2000.
Mitrani, Alain, Competency Based Human Resource Management, diterjemahkan oleh Dadi Pakar, Manajemen Sumber daya Manusia Berdasarkan Kompetensi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Cet. 3, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988
Nitisemito, Alex S., Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia), Ed.-2, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Third Edition, Allyn & Bacon, 1997.
Purwanto dan Atwi Suparman, Evaluasi Program Diklat, Jakarta: STIA LAN Press, 1999.
Rothwell, William j., & H. C. Kazanas, The Complete AMA Guide to Management Development: Training, Education, Development, New York: AMACOM, a division of American Management association, 1993.
Shadish, William R; Thomas D. Cook and Laura C. Leviton, Foundations of Program Evaluation, California: Sage Publications, Inc., 1995.
Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989.
Simamora Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed.-2, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 1999.
Spencer, Lyle M. Jr. and Signe M. Spencer, Competence at Work: Models for Superior Performance, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1993.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Cet. 8, Bandung: CV Alfabeta, 2001.
-------------, Statistika untuk Penelitian, Cet. 2, Bandung: CV Alfabeta, 1999.
Walker, James W., Human Resources Strategy, Singapore: McGraw-Hill Inc., 1992.
Werther, William B., & Keith Davis, Human Resources and Personnel Management, 5th Ed., USA: McGraw-Hill, 1996.
Yin, Robert K., Case Study Research: Design and Methods, California: Sage Publication, 1989.
Zwell, Michael, Creating A Cultural of Competence, New York: John Wiley & Sons, Inc., 2000.
Peraturan perundang-undangan
Lembaga Administrasi Negara, Keputusan Kepala Nomor: 199/XIII/10/6/2001, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II, LAN, 2001
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Lembaran Negara, Nomor 4019, Tahun 2000.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tenang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara, Nomor 60, Tahun 1999.

Senin, 18 Agustus 2008

Mengenali key leverage Reformasi Birokrasi Pemerintah

Oleh: Asropi
(telah diterbitkan dalam "Bunga Rampai Administrasi Publik", Lembaga Administrasi Negara, 2004)

a. Pendahuluan
Ketika reformasi birokrasi dimaknai sebagai perubahan positip dalam tubuh birokrasi, maka sebenarnya kita telah melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pencanangan pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan sesuatu yang baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka dokumen penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program pembangunan sejak tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, semangat untuk melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian, reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945, penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Beberapa kebijakan pemerintah telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi. Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain: (1) Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau “membudaya” pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya; (2) Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat; (3) Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit; dan (4) Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh dari jangkauan. Data Transparency International tahun 2003 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi dan berada pada peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Indonesia mendapatkan nilai 1,9 dari rentang antara 0 untuk negara sangat korup dan 10 untuk Negara sangat bersih.
Gambaran birokrasi pemerintah kita tersebut menunjukkan kondisi yang dipenuhi dengan berbagai kelemahan. Namun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa reformasi birokrasi telah gagal. Beberapa kemajuan dalam proses demokratisasi telah dicapai, seperti penguatan pemerintah daerah melalui penerapan desentralisasi dalam sistem pemerintahan, penguatan lembaga legislatif, dan penyelenggaraan pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945. Permasalahan dalam reformasi birokrasi adalah kelambanan dari proses reformasi birokrasi tersebut, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor manajemen.
Selanjutnya, dalam tulisan ini diuraikan sedikit tentang beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka percepatan reformasi di negara kita.


b. Key leverage Reformasi Birokrasi
Keberhasilan proses reformasi birokrasi sangat dipengaruhi oleh bagaimana manajemen dalam reformasi tersebut dilakukan. Mengikuti pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan. Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat merumuskan kebijakan dan program-program reformasi.
Dalam birokrasi pemerintah kita, bentuk yang sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan masyarakat dan tekanan dunia internasional akan good governance. Oleh karena itu, reformasi birokrasi pemerintah seharusnya diarahkan untuk mewujudkan good governance tersebut dengan berbagai karakter yang melekat padanya. Dalam konteks ini, sebenarnya proses reformasi birokrasi di Indonesia sudah dapat mengenali pemicu tersebut. Bahkan beberapa kebijakan dirumuskan sebagai bagian dari upaya mewujudkan good governance.
Namun demikian, reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mengenali pemicu dan penyusunan kebijakan atau progaram. Beberapa pengukit kunci (key leverage) – perencanaan strategik[1], operasi, budaya, dan kompensasi, harus diselaraskan dengan kebijakan dan program reformasi tersebut
Perencanaan Strategik
Perencanaan strategik merupakan proses berorientasi pada hasil yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh organisasi dengan memperhatikan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul (LAN, 2003). Bagi birokrasi pemerintah, perencanaan strategik sangat membantu organisasi untuk melakukan hal yang lebih baik, mengarahkan individu-individu untuk mengejar tujuan yang sama, menaksir dan menentukan arah organisasi dalam merespon perubahan lingkungan.
Birokrasi dengan perecanaan strategik, memiliki visi dan misi yang akan mengarahkan gerak organisasi. Organisasi yang demikian, menyusun program dan kegiatannya bukan sebagai cerminan dari daftar keinginan, tetapi berdasarkan orientasi pencapaian outcomes. Selain itu, program dan kegiatan tersebut tidak akan keluar dari misinya, sehingga gerak birokrasi akan benar-banar diarahkan oleh misi (mission-driven).
Dalam birokrasi pemerintah kita, penerapan perencanaaan strategik mendapatkan penekanan melalui Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala LAN No. 589 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Keputusan Kepala LAN No. 235 Tahun 2003. Perencanaan strategik tersebut dirumuskan dalam kerangka akuntabilitas birokrasi, sehingga secara konseptual telah searah dengan kebutuhan penerapan good governance.
Inpres No. 7 Tahun 1999 beserta ketentuan yang mengikutinya, mestinya menjadi pendorong bagi birokrasi pemerintah untuk menyusun perencanan strategik. Namun demikian, perencana strategik dalam birokrasi pemerintah sepertinya belum diterima sepenuhnya sebagai suatu kebutuhan. Data akurat tentang jumlah instani pemerintah yang telah memiliki rencana strategik, memang belum tersedia. Akan tetapi, jika informasi dari Kementrian PAN (2004)[2] tentang jumlah instansi yang telah menyampaikan LAKIP ke Presiden dapat dijadikan indikator dari jumlah instansi yang telah memiliki rencana strategik, maka baru 67,2 % dari seluruh instansi – baik di pusat maupun daerah, yang telah memiliki rencana strategik.
Operasi
Operasi berisi struktur dan proses (Berger, 1994). Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan proses mengetengahkan sistem komunikasi dan pengambilan keputusan.
Struktur birokrasi pemerintah akan lebih efektif jika disusun mengikuti fungsi yang dimiliki oleh birokrasi tersebut. Pada organisasi yang sudah memiliki perencanaan strategik, struktur kelembagaan dapat disesuaikan dengan misi yang diemban oleh organisasi. Penyusunan struktur birokrasi berdasarkan fungsi, memungkinkan birokrasi pemerintah menjadi ramping (slim and lean government). Dan hal ini berarti birokrasi memiliki proses manajemen yang lebih cepat serta pembiayaan yang lebih efisien.
Pada masa reformasi sekarang ini, pembentukan struktur kelembagaan pemerintah -di pusat dan daerah, masih mencerminkan pembentukan struktur yang tidak didasari oleh fungsi. Gagasan ideal tentang kelembagan birokrasi pemerintah yang miskin struktur kaya fungsi, pada masa reformasi justru tidak lagi popular. Pada beberapa lembaga atau unit kerja, terjadi saling tumpang tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antar beberapa lembaga atau antar unit kerja dalam satu lembaga. Dalam kondisi demikian, maka pemborosan dan inefisiensi dalam birokrasi semakin besar. Berkaitan dengan fenomena tersebut, Miftah Thoha (2002) menguraikan:
...Di jajaran pemerintah pusat kelembagaan birokrasi pemerintah susunanya masih menunjukkan lembaga yang besar dan tidak efisien. Banyak jenis organisasi lembaga pemerintah yang menangani tugas dan fungsi yang sama, dan didukung oleh para pejabat yang besar yang pada gilirannya membelanjakan anggaran belanja pemerintah yang cukup besar....Susunan kelembagaan yang besar tidak hanya terdapat di dalam organisasi pemerintah pusat di pemerintah daerahpun terjadi...
Struktur birokrasi juga mempengaruhi proses komunikasi dan pengambilan keputusan. Birokrasi dengan hirarki kewenangan yang panjang, akan lamban dalam pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan arus informasi dalam birokrasi membutuhkan banyak waktu untuk sampai ke tingkat pengambil keputusan. Demikian pula, informasi dari pimpinan tingkat atas akan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tingkat bawah. Dalam proses arus informasi demikian, distorsi informasi sangat mungkin terjadi sehingga memungkinkan misleading dalam proses perumusan maupun pelaksanaan dari suatu kebijakan.
Untuk meningkatkan efektivitas proses komunikasi dan pengambilan keputusan, birokrasi perlu melakukan pemangkasan struktur. Hal tersebut dilakukan melalui penghapusan tingkatan tertentu dalam struktur, yang keberadaannya kurang atau tidak penting, sehingga struktur birokrasi menjadi tidak terlalu panjang. Selain itu, birokrasi dapat menerapkan desentralisasi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Berbagai hal yang membutuhkan penanganan cepat dan sifatnya lebih teknis operasional, dipercayakan sepenuhnya pada pimpinan tingkat bawah, sehingga pimpinan tingkat atas dapat lebih fokus pada hal-hal yang sangat stratejik dan mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
Budaya
Budaya organisasi berhubungan dengan nilai-nilai, sistem, dan kebiasaan (Thoha, 2002) yang diperlukan organisasi untuk melaksanakan strategi. Dalam birokrasi pemerintah, budaya terefleksikan dalam sikap dan perilaku aparatur, kebijakan-kebijakan, dan peraturan-peraturan yang sangat mempengaruhi kinerja birokrasi.
Berkembangnya praktek-praktek KKN dan borosnya pembelanjaan pemerintah dalam proses reformasi birokrasi dikarenakan budaya yang telah melembaga dalam birokrasi adalah budaya yang kontraproduktif dengan reformasi. Menurut Hidayat (2000), budaya yang ada di aparatur adalah budaya “penguasa” yang berhak menentukan nasib masyarakat. Sebagai penguasa mereka dapat menerima upeti dari yang dilayani, sehingga kemudian cenderung berpihak kepada mereka yang dapat memberikan imbalan lebih memuskan. Bahkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, tidak jarang birokrasi menentukan tarif untuk pekerjaan yang semestinya tidak memerlukan biaya. Dalam budaya yang demikian, transaction cost akan sangat tinggi dalam proses birokrasi.
Budaya yang relevan dengan pembentukan good governance adalah nilai-nilai yang sejalan dengan demokrasi. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah harus mampu mendengarkan secara sungguh-sungguh kebutuhan masyarakat, dan kemudian berusaha maksimal memenuhi kebutuhan tersebut. Birokrasi juga harus mampu transparan dan bersikap terbuka, bersedia menerima kritik dan berbagai masukan yang ditujukan kepadanya.
Dalam rangka reformasi birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan mengalami banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam ataupun luar birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini, bukan pekerjaan yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang holistic, melingkupi berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti: (1) Pengaruh eksternal yang luas, seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk masyarakat; (2) Nilai-nilai masyarakat dan budaya nasional; (3) Unsur-unsur khas dari organisasi; dan (4) Nilai-nilai dasar dari koalisi dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling besar. (Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).
Kompensasi
Individu yang memiliki kinerja yang baik, sudah sepatutnya menerima kompensasi yang sesuai dengan hasil kerjanya. Kompensasi tersebut dapat berbentuk imbalan financial, seperti gaji, bonus ataupun tunjangan tambahan, atau berbentuk non-financial, seperti penghargaan, pengakuan, promosi, dan pengembangan pribadi (personal growth). Jika kompensasi yang berbasis kinerja ini diterapkan, maka sangat menguntungkan bagi organisasi. Pegawai organisasi tersebut termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, dan pada gilirannya kemudian akan membawa peningkatan pada kinerja organisasi.
Dalam birokrasi pemerintah, sistem kompensasi belum mencerminkan penghargaan terhadap kinerja aparatur. Pemberian gaji, penghargaan kerja, dan promosi lebih merupakan fungsi dari masa kerja dari pada prestasi kerja. Dalam sistem seperti ini, maka gaji (pokok) yang diterima pegawai dengan masa kerja relatif baru akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan pegawai (pada golongan yang sama) yang memiliki masa kerja lebih lama, meskipun pegawai tersebut memiliki prestasi kerja jauh lebih baik dibandingkan dengan seniornya. Demikian pula, pegawai dengan kinerja bagus akan menunggu cukup lama untuk dipromosikan – jika beruntung, sampai masa kerjanya dinilai telah mencukupi.
Kondisi sistem kompensasi yang demikian akan mengganggu laju proses reformasi birokrasi. Hal ini karena pegawai kurang atau tidak termotivasi untuk melakukan perubahan terutama yang berhubungan dengan kinerjanya. Sementara di masa sekarang, ketika kinerja menjadi bagian penting dalam reformasi birokrasi pemerintah[3], motivasi aparatur birokrasi sangat penting. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan penataan dalam sistem kompensasi birokrasi pemerintah. Sistem kompensasi birokrasi harus dapat mencerminkan nilai keadilan, bahwa mereka yang memiliki kinerja lebih baik akan mendapatkan reward yang lebih baik pula.
c. Beberapa Agenda untuk Reformasi
Telah diuraikan dalam sub bab di atas, bahwa meskipun pemerintah telah menghasilkan berbagai kebijakan dalam rangka reformasi birokrasi, tetapi reformasi berjalan sangat lamban. Birokrasi pemerintah masih banyak ditandai dengan berbagai kelemahan, seperti masih berkembangnya perilaku inefisiensi, pemborosan, dan KKN. Sementara sebagai bagian dari upaya perwujudan good governance di Indonesia, reformasi birokrasi adalah keniscayaan. Oleh karena itu, reformasi harus terus bergulir dan hal ini memerlukan dukungan banyak faktor, terutama dukungan manajemen reformasi yang baik.
Dalam kaitan manajemen ini, reformasi birokrasi perlu mengenali key leverage yang kemudian harus disesuaikan dengan arah dan strategi reformasi itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa hal perlu dilakukan, antara lain:
1. Perencanaan strategik menjadi keharusan bagi birokrasi pemerintah. Pada galibnya birokrasi menyadari bahwa perencanaan merupakan kebutuhan bagi setiap organisasi yang berada dalam keterbatasan sumber daya dan lingkungan yang sangat dinamis. Namun demikian, belum semua instansi dalam birokrasi pemerintah kita memiliki perencanaan strategik, bahkan meskipun sudah diinstruksikan oleh presiden melalui Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Untuk mendorong birokrasi pemerintah menyusun perencanaan strategik, terdapat beberapa pilihan strategi: pertama, mengembangkan sistem insentif melalui reward and punishment. Penghargaan diberikan bagi yang memiliki perencanaan strategik, dan hukuman untuk yang tidak menyusun perencanaan strategik. Strategi ini memungkinkan perubahan pada substani Inpres No. 7 Tahun 1999 dengan penambahan ketentuan baru tentang insentif. Kedua, meningkatkan status hukum Inpres No. 7 Tahun 1999 dalam bentuk Undang-undang. Jika pilihan pertama masih menempatkan perencanaan strategik sebagai urusan internal birokrasi pemerintah, pada pilihan kedua ini perencanaan strategik meningkat menjadi kepentingan bangsa. Ketiga, membangun sinergi sistem anggaran birokrasi pemerintah dengan perencanaan strategik. Penekanan pada pilihan ketiga ini adalah bahwa instani pemerintah dapat mengajukan dan mendapatkan anggaran jika mampu menunjukkan perencanaan strategiknya. Keempat, optimalisasi fungsi pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksananaan Inpres No. 7 Tahun 1999, khususnya tentang perencanaan strategik. Arah dari strategi ini adalah peningkatan kuantitas instansi pemerintah yang memiliki perencanaan strategik dan kualitas dari perencanaan strategik yang disusun tersebut.
2. Menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah yang ramping. Untuk menyusun kelembagaan yang ramping, diperlukan pedoman penyusunan kelembagaan birokrasi pemerintah. Konsep dasar pedoman tersebut adalah bahwa struktur kelembagaan birokrasi disusun beradasarkan prinsip efektivitas dan efisiensi.
3. Membangun sistem kompensasi yang berbasis kinerja. Kajian penting dilakukan terhadap sistem penggajian, penghargaan, dan pola karier yang berlaku sekarang. Beberapa pertanyaan yang cukup mendasar untuk dikaji, antara lain: apakah existing system dalam penggajian, penghargaan dan pola karier sudah mencerminkan berbasis kinerja? Bagaimana merit system dapat diterapkan dalam sistem penggajian di birokrasi pemerintah? Dan, apakah dampak pola penghargaan dan pola karier yang diterapkan sekarang terhadap motivasi dan kinerja pegawai?.
Berkaitan dengan pola karier, penempatan kompetensi sebagai pertimbangan utama dalam proses promosi pegawai, akan menguntungkan bagi organisasai. Hal ini mengingat kinerja birokrasi -dalam jangka pendek dan jangka panjang, sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka yang menempati posisi manjerial. Adapun salah satu jalan untuk melihat kompetensi calon pemangku jabatan manajerial adalah melalui fit and proper test, untuk seluruh peluang jabatan manajerial dalam birokrasi pemerintah.

Daftar Pustaka



Berger, Lance A., Martin J. Sikora, with Dorothy R. Berger, The Change Management Hand Book: A Road Map to Corporate Transformation, Chicago: Irwin Professional Publishing, 1994.
Hatch, Mary Jo, Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspective, New York: Oxford University Press, 1997.
Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2000.
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur, arahan MENPAN pada rapat kooordinasi dengan kepala LPND, Sekjen, Sesmen, dan Sestama, 8 Juni 2004.
Munandar, Ashar Sunyoto, Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2001.
Thoha, Miftah, Reformasi Birokrasi Pemerintah, makalah, disampaikan dalam seminar Good Governance di Bappenas, 24 oktober 2002.

[1] Berger (1994) menyebutkan bahwa dalam kerangka perubahan, key leverage organisasi meliputi strategy, operation, culture, dan compensation. Strategy berisikan visi, misi dan tujuan jangka panjang. Berdasarkan unsur atau komponen strategy tersebut, maka konsep strategy tidak berbeda dengan konsep “perencaanaan strategik”. (lihat Keputusan Kep. LAN No. 235 Tahun 2003)
[2] LAKIP disusun berdasarkan Rencana Strategik dan Rencana Kinerja Tahunan. Sampai dengan tanggal 31 Mei 2004, instansi pemerintah yang telah menyampaikan LAKIP tahun 2003 sebanyak 317 instansi atau 67, 2 % dari seluruh instasni yang wajib menyampaikan LAKIP kepada presiden (473 instansi).
[3] Kinerja sangat mengemuka dalam birokrasi pemerintah, terutama melalui pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Anggaran Berbasis Kinerja.