Kamis, 21 Agustus 2008

Jalan Menuju Kebangkitan

Oleh: Asropi
(diterbitkan di Seputar Indonesia, Selasa 27 Mei 2008)


Entah tinggal berapa persen penduduk kita yang masih optimis akan nasib baik anak cucunya di masa depan. Bangsa ini tengah bersusah payah dibawah tekanan kemiskinan, lapangan kerja, harga minyak dunia, harga komoditas, dan musibah alam, birokrasi sebagai mesin pembangunan pun seperti keteteran menyikapi berbagai kondisi yang berkembang. Setali tiga uang, private sector dan civil society, juga harus berjuang mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri. Memang tidak ada yang dapat memastikan kondisi bangsa ini dalam kurun waktu lima, sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Dapat saja kondisinya menjadi lebih baik, tidak jauh berbeda, atau bahkan jauh lebih buruk dari sekarang.
Renungan ini bukanlah pola piker pesimistis. Pemikiran ini sebagai refleksi atas skenario yang potensial terjadi jika tidak ada tindakan yang efektif untuk mengatasi berbagai persoalan. Para futurist berargumen, bahwa di masa mendatang tekanan pada setiap bangsa semakin kuat dan kompleks, sebagai efek globalisasi, global warming, polusi lingkungan, meningkatnya terorisme, dan makin melebarnya kesenjangan ekonomi antar penduduk dan antar negara. Pendek kata, yang dihadapi bangsa ini sekarang baru ‘pemanasan’ dari turbulence dengan daya tekan jauh lebih dahsyat.

Menemukenali trigger dan driver kebangkitan
Tidak ada alternative lain, bangsa ini harus bangkit dan melakukan pembenahan (reform) dari sekarang. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menemukan pemicu (trigger) dan pengarah (driver) kebangkitan. Selanjutnya mengenalinya, dan menjadikannya sebagai sumber energi bagi perubahan. Trigger dan driver kebangkitan ini sangat penting, sehubungan dengan kontribusinya dalam pembentukan visi dan strategi perubahan, sehingga reformasi bukan sekedar utopia.
Mencermati krisis yang terjadi sekarang, sebenarnya tidak sulit menemukenali trigger kebangkitan. Dia telah menjadi bagian kehidupan kita. Keduanya mewujud dalam beragam bentuk krisis seperti krisis ekologi, krisis energi, dan krisis komoditi. Semua itu sebenarnya adalah efek dari suatu strategi pembangunan dan industrialisasi yang tidak memperdulikan keberlanjutan dan nasib generasi mendatang. Lingkungan hidup menjadi rusak, cadangan energi yang tidak terbarukan semakin menipis, hutan tidak memadai lagi sebagai penyerap emisi gas karbondioksida, dan iklim mengalami perubahan yang mencengangkan dan mengkhawatirkan.
Untuk driver, kita bisa menemukannya pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pola ini adalah driver yang sangat kuat bagi kebangkitan kita. Selama ini, proses pembangunan kita telah mengakibatkan konversi lahan pertanian ke non pertanian, dengan pertumbuhan 145.000 ha pertahun. Deforestasi pun masih semarak. Peralihan fungsi kawasan hutan menjadi daerah pemukiman, perkebunan, perindustrian, pertambangan, kebakaran, dan pembalakan liar membawa kehancuran hutan Indonesia. Deforestasi ini terjadi sangat cepat. Data dari Departemen Kehutanan menunjukan angka deforestasi mencapai 1,87 juta hektare untuk periode 1985-1997, 2,83 juta hektar untuk periode 1997-2000, dan 1,18 juta hektar untuk periode 2000-2005. Efek dari konversi lahan pertanian dan deforestasi ini telah kita ”nikmati”. Jika terus dibiarkan berlanjut, kecenderungan ini menjurus pada kehancuran bangsa.
Menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai driver kebangkitan, sama artinya dengan mengkaji ulang paradigma, pendekatan dan seluruh strategi pembangunan yang telah dijalankan. Seluruh komponen bangsa, khususnya para pemimpin negeri, harus berani dan bersungguh-sungguh untuk menilai kesesuaian seluruh kebijakan pembangunan yang diberlakukan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Evaluasi dilakukan pada semua bidang. Kebijakan yang tidak sejalan harus segera digantikan dengan kebijakan baru yang dapat menjamin generasi mendatang dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.

DNA manajemen kebangkitan
Sebagian dari kita mungkin masih meragukan kemampuan bangsa untuk bangkit karena kuatnya impitan krisis. Tetapi tengoklah negara-negara maju sekarang. Sebagian besar dari mereka memiliki sejarah krisis di masa lalu. Sebut saja Jepang dan negara-negara Eropa. Mereka pernah luluh lantak karena terlibat dua kali perang dunia di abad 20. Atau tengoklah sejarah bangsa-bangsa di Asia yang hampir semuanya pernah mengalami penjajahan. Tetapi sekarang umumnya mereka jauh lebih baik dari kita. China bahkan kini telah tumbuh sebagai negara yang diprediksi akan menggeser dominasi AS dalam konfigurasi internasional.
Belajar dari kebangkitan negara-negara maju, krisis selalu ditempatkan sebagai trigger perubahan. Bangsa ini pun sekarang telah mendapatkan trigger-nya, yaitu berbagai krisis yang semakin menguat akhir-akhir ini. Dengan trigger kebangkitan ini, dan ditambah dengan driver pembangunan berkelanjutan, selanjutnya dapat dirumuskan berbagai strategi baru pembangunan yang dapat mengangkat bangsa dari keterpurukan dan menghindari dari ancaman kehancuran di masa depan.
Meski demikian, karakter alamiah dari aktivitas reformasi selalu dihadapkan dengan berbagai hambatan. Karena itu, kebangkitan yang di-drive oleh pembangunan berkelanjutan juga memerlukan strategi yang memudahkan penerapannya. Strategi tersebut terfokus terutama pada perubahan DNA –deoxyribonucleicacid, istilah biologi yang menunjukkan karakter- manajemen pemerintah, yang sesuai dalam kondisi serba krisis, yaitu yang mendukung bertumbuhnya gagasan kreatif dan inovasi.
Karena itu, tugas terpenting pemerintah sekarang adalah menciptakan atmosfir yang kondusif bagi berkembangnya inovasi, baik pada birokrasi pemerintah sendiri maupun pada lingkungannya. Birokrasi pemerintah harus mengalihkan pendekatan yang rule driven menuju result driven. Pendekatan ini juga dibarengi dengan penguatan public accountability. Jika DNA dapat ditemukan, dan trigger menjadi penyemangat dan driver menjadi pembimbing, tidak mustahil bangsa ini menjadi terpandang dalam konfigurasi ekonomi politik internasional

Tidak ada komentar: