Senin, 18 Agustus 2008

Mengenali key leverage Reformasi Birokrasi Pemerintah

Oleh: Asropi
(telah diterbitkan dalam "Bunga Rampai Administrasi Publik", Lembaga Administrasi Negara, 2004)

a. Pendahuluan
Ketika reformasi birokrasi dimaknai sebagai perubahan positip dalam tubuh birokrasi, maka sebenarnya kita telah melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pencanangan pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan sesuatu yang baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka dokumen penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program pembangunan sejak tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, semangat untuk melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian, reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945, penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Beberapa kebijakan pemerintah telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi. Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain: (1) Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau “membudaya” pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya; (2) Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat; (3) Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit; dan (4) Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh dari jangkauan. Data Transparency International tahun 2003 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi dan berada pada peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Indonesia mendapatkan nilai 1,9 dari rentang antara 0 untuk negara sangat korup dan 10 untuk Negara sangat bersih.
Gambaran birokrasi pemerintah kita tersebut menunjukkan kondisi yang dipenuhi dengan berbagai kelemahan. Namun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa reformasi birokrasi telah gagal. Beberapa kemajuan dalam proses demokratisasi telah dicapai, seperti penguatan pemerintah daerah melalui penerapan desentralisasi dalam sistem pemerintahan, penguatan lembaga legislatif, dan penyelenggaraan pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945. Permasalahan dalam reformasi birokrasi adalah kelambanan dari proses reformasi birokrasi tersebut, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor manajemen.
Selanjutnya, dalam tulisan ini diuraikan sedikit tentang beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka percepatan reformasi di negara kita.


b. Key leverage Reformasi Birokrasi
Keberhasilan proses reformasi birokrasi sangat dipengaruhi oleh bagaimana manajemen dalam reformasi tersebut dilakukan. Mengikuti pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan. Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat merumuskan kebijakan dan program-program reformasi.
Dalam birokrasi pemerintah kita, bentuk yang sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan masyarakat dan tekanan dunia internasional akan good governance. Oleh karena itu, reformasi birokrasi pemerintah seharusnya diarahkan untuk mewujudkan good governance tersebut dengan berbagai karakter yang melekat padanya. Dalam konteks ini, sebenarnya proses reformasi birokrasi di Indonesia sudah dapat mengenali pemicu tersebut. Bahkan beberapa kebijakan dirumuskan sebagai bagian dari upaya mewujudkan good governance.
Namun demikian, reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mengenali pemicu dan penyusunan kebijakan atau progaram. Beberapa pengukit kunci (key leverage) – perencanaan strategik[1], operasi, budaya, dan kompensasi, harus diselaraskan dengan kebijakan dan program reformasi tersebut
Perencanaan Strategik
Perencanaan strategik merupakan proses berorientasi pada hasil yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh organisasi dengan memperhatikan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul (LAN, 2003). Bagi birokrasi pemerintah, perencanaan strategik sangat membantu organisasi untuk melakukan hal yang lebih baik, mengarahkan individu-individu untuk mengejar tujuan yang sama, menaksir dan menentukan arah organisasi dalam merespon perubahan lingkungan.
Birokrasi dengan perecanaan strategik, memiliki visi dan misi yang akan mengarahkan gerak organisasi. Organisasi yang demikian, menyusun program dan kegiatannya bukan sebagai cerminan dari daftar keinginan, tetapi berdasarkan orientasi pencapaian outcomes. Selain itu, program dan kegiatan tersebut tidak akan keluar dari misinya, sehingga gerak birokrasi akan benar-banar diarahkan oleh misi (mission-driven).
Dalam birokrasi pemerintah kita, penerapan perencanaaan strategik mendapatkan penekanan melalui Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala LAN No. 589 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Keputusan Kepala LAN No. 235 Tahun 2003. Perencanaan strategik tersebut dirumuskan dalam kerangka akuntabilitas birokrasi, sehingga secara konseptual telah searah dengan kebutuhan penerapan good governance.
Inpres No. 7 Tahun 1999 beserta ketentuan yang mengikutinya, mestinya menjadi pendorong bagi birokrasi pemerintah untuk menyusun perencanan strategik. Namun demikian, perencana strategik dalam birokrasi pemerintah sepertinya belum diterima sepenuhnya sebagai suatu kebutuhan. Data akurat tentang jumlah instani pemerintah yang telah memiliki rencana strategik, memang belum tersedia. Akan tetapi, jika informasi dari Kementrian PAN (2004)[2] tentang jumlah instansi yang telah menyampaikan LAKIP ke Presiden dapat dijadikan indikator dari jumlah instansi yang telah memiliki rencana strategik, maka baru 67,2 % dari seluruh instansi – baik di pusat maupun daerah, yang telah memiliki rencana strategik.
Operasi
Operasi berisi struktur dan proses (Berger, 1994). Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan proses mengetengahkan sistem komunikasi dan pengambilan keputusan.
Struktur birokrasi pemerintah akan lebih efektif jika disusun mengikuti fungsi yang dimiliki oleh birokrasi tersebut. Pada organisasi yang sudah memiliki perencanaan strategik, struktur kelembagaan dapat disesuaikan dengan misi yang diemban oleh organisasi. Penyusunan struktur birokrasi berdasarkan fungsi, memungkinkan birokrasi pemerintah menjadi ramping (slim and lean government). Dan hal ini berarti birokrasi memiliki proses manajemen yang lebih cepat serta pembiayaan yang lebih efisien.
Pada masa reformasi sekarang ini, pembentukan struktur kelembagaan pemerintah -di pusat dan daerah, masih mencerminkan pembentukan struktur yang tidak didasari oleh fungsi. Gagasan ideal tentang kelembagan birokrasi pemerintah yang miskin struktur kaya fungsi, pada masa reformasi justru tidak lagi popular. Pada beberapa lembaga atau unit kerja, terjadi saling tumpang tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antar beberapa lembaga atau antar unit kerja dalam satu lembaga. Dalam kondisi demikian, maka pemborosan dan inefisiensi dalam birokrasi semakin besar. Berkaitan dengan fenomena tersebut, Miftah Thoha (2002) menguraikan:
...Di jajaran pemerintah pusat kelembagaan birokrasi pemerintah susunanya masih menunjukkan lembaga yang besar dan tidak efisien. Banyak jenis organisasi lembaga pemerintah yang menangani tugas dan fungsi yang sama, dan didukung oleh para pejabat yang besar yang pada gilirannya membelanjakan anggaran belanja pemerintah yang cukup besar....Susunan kelembagaan yang besar tidak hanya terdapat di dalam organisasi pemerintah pusat di pemerintah daerahpun terjadi...
Struktur birokrasi juga mempengaruhi proses komunikasi dan pengambilan keputusan. Birokrasi dengan hirarki kewenangan yang panjang, akan lamban dalam pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan arus informasi dalam birokrasi membutuhkan banyak waktu untuk sampai ke tingkat pengambil keputusan. Demikian pula, informasi dari pimpinan tingkat atas akan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tingkat bawah. Dalam proses arus informasi demikian, distorsi informasi sangat mungkin terjadi sehingga memungkinkan misleading dalam proses perumusan maupun pelaksanaan dari suatu kebijakan.
Untuk meningkatkan efektivitas proses komunikasi dan pengambilan keputusan, birokrasi perlu melakukan pemangkasan struktur. Hal tersebut dilakukan melalui penghapusan tingkatan tertentu dalam struktur, yang keberadaannya kurang atau tidak penting, sehingga struktur birokrasi menjadi tidak terlalu panjang. Selain itu, birokrasi dapat menerapkan desentralisasi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Berbagai hal yang membutuhkan penanganan cepat dan sifatnya lebih teknis operasional, dipercayakan sepenuhnya pada pimpinan tingkat bawah, sehingga pimpinan tingkat atas dapat lebih fokus pada hal-hal yang sangat stratejik dan mempengaruhi organisasi secara keseluruhan.
Budaya
Budaya organisasi berhubungan dengan nilai-nilai, sistem, dan kebiasaan (Thoha, 2002) yang diperlukan organisasi untuk melaksanakan strategi. Dalam birokrasi pemerintah, budaya terefleksikan dalam sikap dan perilaku aparatur, kebijakan-kebijakan, dan peraturan-peraturan yang sangat mempengaruhi kinerja birokrasi.
Berkembangnya praktek-praktek KKN dan borosnya pembelanjaan pemerintah dalam proses reformasi birokrasi dikarenakan budaya yang telah melembaga dalam birokrasi adalah budaya yang kontraproduktif dengan reformasi. Menurut Hidayat (2000), budaya yang ada di aparatur adalah budaya “penguasa” yang berhak menentukan nasib masyarakat. Sebagai penguasa mereka dapat menerima upeti dari yang dilayani, sehingga kemudian cenderung berpihak kepada mereka yang dapat memberikan imbalan lebih memuskan. Bahkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, tidak jarang birokrasi menentukan tarif untuk pekerjaan yang semestinya tidak memerlukan biaya. Dalam budaya yang demikian, transaction cost akan sangat tinggi dalam proses birokrasi.
Budaya yang relevan dengan pembentukan good governance adalah nilai-nilai yang sejalan dengan demokrasi. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah harus mampu mendengarkan secara sungguh-sungguh kebutuhan masyarakat, dan kemudian berusaha maksimal memenuhi kebutuhan tersebut. Birokrasi juga harus mampu transparan dan bersikap terbuka, bersedia menerima kritik dan berbagai masukan yang ditujukan kepadanya.
Dalam rangka reformasi birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan mengalami banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam ataupun luar birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini, bukan pekerjaan yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang holistic, melingkupi berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti: (1) Pengaruh eksternal yang luas, seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk masyarakat; (2) Nilai-nilai masyarakat dan budaya nasional; (3) Unsur-unsur khas dari organisasi; dan (4) Nilai-nilai dasar dari koalisi dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling besar. (Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).
Kompensasi
Individu yang memiliki kinerja yang baik, sudah sepatutnya menerima kompensasi yang sesuai dengan hasil kerjanya. Kompensasi tersebut dapat berbentuk imbalan financial, seperti gaji, bonus ataupun tunjangan tambahan, atau berbentuk non-financial, seperti penghargaan, pengakuan, promosi, dan pengembangan pribadi (personal growth). Jika kompensasi yang berbasis kinerja ini diterapkan, maka sangat menguntungkan bagi organisasi. Pegawai organisasi tersebut termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, dan pada gilirannya kemudian akan membawa peningkatan pada kinerja organisasi.
Dalam birokrasi pemerintah, sistem kompensasi belum mencerminkan penghargaan terhadap kinerja aparatur. Pemberian gaji, penghargaan kerja, dan promosi lebih merupakan fungsi dari masa kerja dari pada prestasi kerja. Dalam sistem seperti ini, maka gaji (pokok) yang diterima pegawai dengan masa kerja relatif baru akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan pegawai (pada golongan yang sama) yang memiliki masa kerja lebih lama, meskipun pegawai tersebut memiliki prestasi kerja jauh lebih baik dibandingkan dengan seniornya. Demikian pula, pegawai dengan kinerja bagus akan menunggu cukup lama untuk dipromosikan – jika beruntung, sampai masa kerjanya dinilai telah mencukupi.
Kondisi sistem kompensasi yang demikian akan mengganggu laju proses reformasi birokrasi. Hal ini karena pegawai kurang atau tidak termotivasi untuk melakukan perubahan terutama yang berhubungan dengan kinerjanya. Sementara di masa sekarang, ketika kinerja menjadi bagian penting dalam reformasi birokrasi pemerintah[3], motivasi aparatur birokrasi sangat penting. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan penataan dalam sistem kompensasi birokrasi pemerintah. Sistem kompensasi birokrasi harus dapat mencerminkan nilai keadilan, bahwa mereka yang memiliki kinerja lebih baik akan mendapatkan reward yang lebih baik pula.
c. Beberapa Agenda untuk Reformasi
Telah diuraikan dalam sub bab di atas, bahwa meskipun pemerintah telah menghasilkan berbagai kebijakan dalam rangka reformasi birokrasi, tetapi reformasi berjalan sangat lamban. Birokrasi pemerintah masih banyak ditandai dengan berbagai kelemahan, seperti masih berkembangnya perilaku inefisiensi, pemborosan, dan KKN. Sementara sebagai bagian dari upaya perwujudan good governance di Indonesia, reformasi birokrasi adalah keniscayaan. Oleh karena itu, reformasi harus terus bergulir dan hal ini memerlukan dukungan banyak faktor, terutama dukungan manajemen reformasi yang baik.
Dalam kaitan manajemen ini, reformasi birokrasi perlu mengenali key leverage yang kemudian harus disesuaikan dengan arah dan strategi reformasi itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa hal perlu dilakukan, antara lain:
1. Perencanaan strategik menjadi keharusan bagi birokrasi pemerintah. Pada galibnya birokrasi menyadari bahwa perencanaan merupakan kebutuhan bagi setiap organisasi yang berada dalam keterbatasan sumber daya dan lingkungan yang sangat dinamis. Namun demikian, belum semua instansi dalam birokrasi pemerintah kita memiliki perencanaan strategik, bahkan meskipun sudah diinstruksikan oleh presiden melalui Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Untuk mendorong birokrasi pemerintah menyusun perencanaan strategik, terdapat beberapa pilihan strategi: pertama, mengembangkan sistem insentif melalui reward and punishment. Penghargaan diberikan bagi yang memiliki perencanaan strategik, dan hukuman untuk yang tidak menyusun perencanaan strategik. Strategi ini memungkinkan perubahan pada substani Inpres No. 7 Tahun 1999 dengan penambahan ketentuan baru tentang insentif. Kedua, meningkatkan status hukum Inpres No. 7 Tahun 1999 dalam bentuk Undang-undang. Jika pilihan pertama masih menempatkan perencanaan strategik sebagai urusan internal birokrasi pemerintah, pada pilihan kedua ini perencanaan strategik meningkat menjadi kepentingan bangsa. Ketiga, membangun sinergi sistem anggaran birokrasi pemerintah dengan perencanaan strategik. Penekanan pada pilihan ketiga ini adalah bahwa instani pemerintah dapat mengajukan dan mendapatkan anggaran jika mampu menunjukkan perencanaan strategiknya. Keempat, optimalisasi fungsi pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksananaan Inpres No. 7 Tahun 1999, khususnya tentang perencanaan strategik. Arah dari strategi ini adalah peningkatan kuantitas instansi pemerintah yang memiliki perencanaan strategik dan kualitas dari perencanaan strategik yang disusun tersebut.
2. Menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah yang ramping. Untuk menyusun kelembagaan yang ramping, diperlukan pedoman penyusunan kelembagaan birokrasi pemerintah. Konsep dasar pedoman tersebut adalah bahwa struktur kelembagaan birokrasi disusun beradasarkan prinsip efektivitas dan efisiensi.
3. Membangun sistem kompensasi yang berbasis kinerja. Kajian penting dilakukan terhadap sistem penggajian, penghargaan, dan pola karier yang berlaku sekarang. Beberapa pertanyaan yang cukup mendasar untuk dikaji, antara lain: apakah existing system dalam penggajian, penghargaan dan pola karier sudah mencerminkan berbasis kinerja? Bagaimana merit system dapat diterapkan dalam sistem penggajian di birokrasi pemerintah? Dan, apakah dampak pola penghargaan dan pola karier yang diterapkan sekarang terhadap motivasi dan kinerja pegawai?.
Berkaitan dengan pola karier, penempatan kompetensi sebagai pertimbangan utama dalam proses promosi pegawai, akan menguntungkan bagi organisasai. Hal ini mengingat kinerja birokrasi -dalam jangka pendek dan jangka panjang, sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka yang menempati posisi manjerial. Adapun salah satu jalan untuk melihat kompetensi calon pemangku jabatan manajerial adalah melalui fit and proper test, untuk seluruh peluang jabatan manajerial dalam birokrasi pemerintah.

Daftar Pustaka



Berger, Lance A., Martin J. Sikora, with Dorothy R. Berger, The Change Management Hand Book: A Road Map to Corporate Transformation, Chicago: Irwin Professional Publishing, 1994.
Hatch, Mary Jo, Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspective, New York: Oxford University Press, 1997.
Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2000.
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur, arahan MENPAN pada rapat kooordinasi dengan kepala LPND, Sekjen, Sesmen, dan Sestama, 8 Juni 2004.
Munandar, Ashar Sunyoto, Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2001.
Thoha, Miftah, Reformasi Birokrasi Pemerintah, makalah, disampaikan dalam seminar Good Governance di Bappenas, 24 oktober 2002.

[1] Berger (1994) menyebutkan bahwa dalam kerangka perubahan, key leverage organisasi meliputi strategy, operation, culture, dan compensation. Strategy berisikan visi, misi dan tujuan jangka panjang. Berdasarkan unsur atau komponen strategy tersebut, maka konsep strategy tidak berbeda dengan konsep “perencaanaan strategik”. (lihat Keputusan Kep. LAN No. 235 Tahun 2003)
[2] LAKIP disusun berdasarkan Rencana Strategik dan Rencana Kinerja Tahunan. Sampai dengan tanggal 31 Mei 2004, instansi pemerintah yang telah menyampaikan LAKIP tahun 2003 sebanyak 317 instansi atau 67, 2 % dari seluruh instasni yang wajib menyampaikan LAKIP kepada presiden (473 instansi).
[3] Kinerja sangat mengemuka dalam birokrasi pemerintah, terutama melalui pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Anggaran Berbasis Kinerja.

Tidak ada komentar: